1/
Kita mulai
jarang melafalkan sabda. Dengan kepintaran paling purba. Saat kokok ayam timur
sunyi. Kau memilih berpuisi. Sedang aku, sibuk memilih kata-kata. Hingga
akhirnya semua ku buang. Setelah melihat nyata tergambar. Ingin pun hambar. Garis
putus tanpa titik temu. Menggores pena aku terkadang jemu
2/
Dalam satu
lingkaran, otak kita melayang. Masa lalu tertawa terbayang. Menghablur,
melarut, melebur. Menyesali hari ini puisi adalah sebuah baris tanpa makna. kau
terlihat menitip mata yang kosong. Pada tatapmu shubuh tadi. Sebelum ribuan
sesal kau pahat dalam pucuk rindu paling jahat.
3/
Tak jarang aku
disini menyesali. Memaki-maki jalan diri. Sebab mimpi lama berubah nama. Wajah-wajah
abstrak demikian berserak. Kejujuran dibalas pahit paling sengit. Ketulusan
berganti benci yang caci. Lantas buat apa aku berpuisi. Menggetar-getarkan
sejumlah diksi sakti. Melafas-lafaskan barisan mimpi tak teramini. Jika di
sekeliling, sebagian besar orang mulai pintar beretorika, ratusan jiwa menjelma
sebagai pesulap. Yang hitam menjadi putih dalam sekejap.
4/
Maka, di
sela sadarku shubuh tadi. Lembaran-lembaran puisi itu terbakar. Menghitam
menjadi abu. Berterbangan umpama debu. Bait-baitnya mulai tak beraturan.
Rima-rima apik tampak munafik. Metafora semakin berpura-pura. Makna dan
definisi enggan dimengerti. Aku rebah dalam sujud, menangis dan menyadari kau
tak ada. Kau tak pernah ada. Selamanya takkan pernah ada.
2012