Sabtu, 10 Desember 2011

Cerpen - Aku Bukan Pembunuh Bayaran ??


Malam legam di desaku. Aku hanya terdiam berbaring dalam kamar. Setiap malam begitu sunyi, ngeri dan mencekam. Warga lebih banyak memilih menghabiskan waktu dalam rumah. Bercengkerama dengan keluarga sambil nonton TV. Adapula yang asyik bermain kartu di Pos Ronda. Nama desaku adalah Desa Rembung Papan. Aku juga tidak begitu mengerti kenapa namanya seperti itu, dan apa arti nama itu. Tapi disinilah aku besar, disini aku mulai mengenal hidup. Hidup yang bisa dikatakan keras dan penuh dengan kecurangan. Para pengusaha kaya seenaknya saja mengambil tanah warga dan membayar dengan harga relative rendah. Kemudian memperkerjakan warga sebagai kuli. Kuli yang sehari penuh bekerja dan tersengat mentari. Hanya mendapat upah yang begitu minim dan terkadang harus pula berhutang kepada para tengkulak.

Tapi apa boleh buat, warga di sini sebagian besar hanya berpendidikan rendah. Tidak mempunyai fikiran luas untuk melawan pihak yang kaya. Mereka hanya pasrah dan cukup tersenyum saat dibagikan uoah sore harinya. Upah yang hanya cukup untuk makan. Upah yang membuat mereka sering sakit-sakitan karena pekerjaan yang berat dan uang berobat yang lumayan tinggi. Ujung-ujung mati tanpa pernah mendapat pelayanan yang maksimal. Yah, Uang. Uang adalah segalanya. Uang adalah Tuan. Uang begitu dipuja dan diagung-agungkan. Demikian juga dengan aku, apapun akan kulakukan demi uang. Apapun itu.

Aku masih saja termenung. Mak ku di kamar sebelah sakit-sakitan. Batuknya berdentang sepanjang malam. Yah sudah bertahun-tahun batuk itu semakin menjadi-jadi. Batuk yang terkadang membuatku takut. Batuk yang membuatku selalu berfikir apa aku harus kehilang begitu cepat sosok seorang Ibu. Ibu adalah satu-satunya yang kupunya setelah bapak dan kakakku meninggal tertabrak kereta dua tahun lalu. Waktu aku masih duduk di kelas tiga SMA. Aku kehilangan beliau. Aku terguncang waktu itu, betapa tidak, Beliau adalah satu-satunya penopang keluarga. Sementara tekad ku saat itu adalah menyelesaikan SMA dan hendak kuliah di luar kota. Kuliah, demi semua cita-citaku untuk meningkatkan taraf hidup keluarga. Jujur saja, aku bosan dengan kemiskinan. Aku bosan dengan segala kekurangan. Aku bosan mendengar ibu dan bapak bertengkar hanya karena masalah ekonomi.

Namun apa daya, sejak bapak meninggal. Kehidupan keluargaku semakin sulit. Ibu harus bekerja siang dan malam. Sampai akhirnya ia hanya diam kaku dirumah menikmati sakitnya. Selepas SMA, aku putuskan untuk bekerja di pasar. Menjadi kuli tepatnya. Mengandalkan tenaga mengangkat berkintal-kintal beras setiap harinya dengan upah yang begitu minim. Aku hanya ingin melihat Ibuku sehat dan bahagia sehingga apa pun akan kulakukan demi dia. Dia adalah kekuatan yang membuat saya bertahan mengarungi semua ini.

Tiba-tiba desa ini tak lagi sunyi. Suara warga riuh di luar. Seperti sedang ada pembagian beras atau zakat dari orang-orang berduit. Ibuku yang lagi sakit pun berusaha keluar kamar mencari tau ada apa sebenarnya diluar. Aku hanya membuka tirau jendela dan melihat keluar. Kebetulan kamarku terletak pas di pinggir jalan. Begitu dekat dengan kumpulan warga yang ricuh. Aku melihat dengan jelas seorang satpam menggelatakkan sekujur tubuh. Tubuh seorang lelaki yang nampak kekar. Kacamatanya masih terpasang. Bercampur darah. Tubuh yang sudah kehilangan nyawa. Dengan lubang peluru tepat dikeningnya. Memang kejam.

Para tetangga mulai sibuk bertanya dan menerka-nerka. Setelah sekian lama diketahui mayat itu adalah mayat seorang pengusaha yang sekian tahun menguasai pasar. Semua warga mengambil stok barang dari dia. Mendapat upah minim sedang dia mendapat upah sekian lipat dari barangnya. Tubuh itu diam. Malam semakin gelap. Warga semakin berduyun melihat kejadian. Aku hanya melihat dari balik jendela. Aku hanya termenung melihat kejadian itu. Sontak, dusun ini menjadi ngeri. Semakin ngeri sejak penemuan mayat itu.

Orang-orang bertanya-tanya. Siapa yang membunuhnya?. Pertanyaan it uterus mengalir beberapa hari.

“Ah, paling dibunuh sama saingan bisnisnya”

Yang lain berkata,

“Mungkin ada yang tidak suka dengan sikapnya selama hidupnya. Biasalah, orang ini kan pelit. Selalu makan dari keringat warga. Wajarlah ada berbagai pihak yang dendam dan membunuhnya.”

Begitulah obrolan sehari-hari yang kudengar. Mulai di warung kopi, ibu-ibu yang lagi asyik ngumpul. Bahkan di pasar, semua membicarakan hal itu. Aku seperti biasa hanya terdiam tak pernah menanggapi apa pun. Aku memilih untuk tidak berkata apa-apa. Sementara di rumah, ibuku mulai sakit-sakitan. Batuknya tambah parah. Aku memutuskan mengajak meriksa ke puskesmas. Ibu semula menolak, “Biarlah, uang itu pakai aja membeli beras, besok juga baikan kok”, Ia selalu berkata demikian. “Ada uang lebih Bu” Aku mengeluarkan sejumlah uang dikantongku. Ibu ku nampak heran melihat uang dalam jumlah lumayan banyak. “Uang dari mana nak?” tanyanya. “Kebetulan tadi pagi banyak kerjaan, lumayanlah dapat banyak”. Ibu diam, ia tak bertanya lagi, ia tak pernah terlalu bertanya. Karena Ia sadar aku sudah dewasa.

Akhirnya Ibu pun mau kubawa ke puskesmas. Sepulang dari puskesmas, aku menyempatkan diri ke took. Membeli spring bed, dikarenakan aku tak tahan melihat Ibu hanya beralaskan tikar dalam keadaan sakit begini. Ibu hanya tersenyum, “Makasih Nak, mudah-mudahan Gusti Allah selalu melimpahkan rezekinya untukmu” Ibu seakan ingin menetes air mata. Tangannya masih mengusap rambutku. Aku senang dan bahagia melihat Ibuku juga tersenyum.

Hari itu kami makan enak, aku membeli dua bungkus nasi di warung makan sebelah. Tanpa sengaja di warung tersebut, aku bertemu dengan Pak Sulaiman. Pak Sulaiman adalah seorang pengusaha tembakau yang kaya raya. Tanahnya di mana-dimana dan bahkan Ia sering ke luar kota mengurus bisnis-bisnisnya. Aku pernah bekerja setahun lalu di kebunnya. Mengurus kebun dan beberapa binatang piaraannya. Ia memberiku sebungkus rokok dan mengajakku ngobrol sebentar. Hari itu ia nampak galau. Seperti ada beban dalam kepalanya, seperti ada urusan yang harus ia selesaikan dengan meminta bantuanku. Setelah mengobrol, aku pun pulang membawa dua bungkus nasi untuk ku makan bersama ibu.

Ibu tampak lahap makan siang ini. Dikarenakan lapar atau mungkin tumben makan dengan menu seenak ini. Dengan daging, paha ayam dan cumi goring. Aku tersenyum memandang Ibu. “Kamu gak makan Nak?”. Ia menyapaku karena melihatku yang hanya diam tidak menyuapkan nasi sedari tadi. Aku pun tersenyum dan mulai menyuapkan nasi. Ibu istirahat sehabis makan, ia tampak lelah karena lumayan jauh perjalan ke puskesmas tadi.

Aku masuk ke kamar, membuka sebuah lemari yang selalu ku kunci rapat. Aku mengeluarkan sebuah kotak kecil dan mulai berfikir. Sambil mulutku tak henti megisap rokok yang terus menyala mengeluarkan asap. Asap putih yang terbang dan keluar dati balik jendela. Aku akhirnya keluar dan pamit sama Ibu. Ibu sangat ikhlas melepasku maghrib itu. Suasana desa mulai sepi lagi. Mendung menyelimuti. Gumpalan awan tebal seakan enggan memberi sedikit saja celah untuk sinar bulan. Hanya ada dua orang satpam yang mulai bermain kartu dan berjaga di pos ronda. Aku pun menyapa mereka.

“Permisi bapak-bapak, asyik kayaknya main kartunya”.

“Eh, mas Ilham, mau kemana?” satpam yang agak kurus menyapaku.

“mau nyari kopi Pak, dingin…”

“Oalah dingin, makanya buruan kawin” Mereka seperti biasa mencandaiku.

“Kalo Jodoh mah pasti datang kalo dah waktunya”

“Ya kalo ga dicari mana bisa dating” mereka serempak tertawa.

Aku hanya tersenyum. Mereka selalu mencandaiku seperti itu. Selalu nyuruh kawin. Padahal umurku baru 22 tahun. Aku rasa belum saatnya memikirkan itu. Aku harus bias membuat Ibuku bahagia dan paling tidak bias membeli sebuah rumah yang layak untuk kami tempati. Baru berani ngawinin anak orang. Begitulah pola pikirku. Meskipun banyak teman sebayaku sudah kawin dan malahan banyak yang sudah punya anak satu. Tak sedikit pula yang harus cerai karena terbelit masalah ekonomi. Itulah yang sangat aku takutkan. Sangat kutakutkan. Akhirnya aku pun permisi kepada kedua satpam itu. Mereka melanjutkan lagi permainannya. Malam pun semakin gelap. Hujan besar membasahi penjuru dewasa. Petir menggelegar dan sesekali menyambar. Membuat sebagian orang mengunci pintu rumah rapat-rapat.

***

Tepat jam satu malam aku pulang. Ibu ku keluar membukakan pintu. Seperti biasa, Ia tak pernah bertanya sudah dari mana. Ia hanya tersenyum dan berkata, “makanan ada di dapur Nak, Ibu masak telur hari ini. Kebetulan masih ada sisa uang kematin yang kamu kasi”. Aku hanya tersenyum dan langsung masuk ke kamar. Melihat tetesan hujan yang sesekali menyelinap dari genteng rumah yang bocor. Petir bergemuruh, lagi-lagi warga riuh. Ada yang berteriak dan ada pula yang berlari. Pak satpam lagi-lagi menemukan mayat. Seperti biasa ia geletekkan di pinggir jalan. Persis di dekat jendela kamar. Aku hanya membuka jendela dan mulai memperhatikan dengan seksama.

Seonggok badan kurus. Dengan rambut ikal dan sudah beruban. Sebuah peluru menembus dadanya. “Saya temukan dipinggiran sungai, saya waktu itu mau buang air, eh, ketemu mayat lagi” Begitulah pengakuan satpam itu. Aku mendengarkan dengan seksama. Petugas mulai berdatangan menyelidiki. Hujan menetes membawa darah yang mengucur ditubuh mayat itu. Para warga mulai terbiasa dengan kondisi itu. “Ah, mayat lagi. Pak Idris ya?” Nampak seorang warga bertanya. “Biasalah, saingan bisnis, pak Idris baru saja mendapat kontrak oleh Bupati untuk beberapa proyek.”. “Ga usah berkata begitu, ga baik” nampak seorang menegurnya. Tangis pilu dari keluarganya pun terdengar. Mayat itu dibungkus rapi, namun darah masih tampak mengucur menembus kain tipis yang menutupi tubuh itu.

Beberapa kejadian mulai banyak terjadi. Beberapa mayat sering ditemukan dimalam itu. Polisi terus mencari apa penyebab kematian itu. Apa mungkin penjahatnya begitu professional hingga jejaknya belum bias diendus. Atau mungkin ada sosok pembunuh yang bekerjasama dengan jin. Begitulah opini-opini warga. Karena masyarakat sini masih sangat percaya dengan hal-hal yang berbau tahayul.

***

Sekian malam, keadaan semakin mengerikan. Aku memutuskan untuk keluar. Ibu ku nampak khawatir malam itu. Biasanya dia melepasku dengan senyuman manis di bibirnya. Tapi entah kenapa malam ini Ia hanya terdiam, bibirnya datar tak menyungging senyum. Aku mencium tangannya dan ia hanya berkata, “Cepet pulang ya Nak”.

Aku pun beranjak dan melangkah jauh dari teras rumah. Hujan mulai deras. Hamper setiap malam hujan turun dan lampu pasti mati. Maklum, dusun ini belum mendapat aliran listrik yang layak. Dan setiap malam selalu bergantian mati dengan dusun tetangga. Kadang-kadang jatahnya sama-sama seminggu. Begitulah setiap malamnya.

Malam pun semakin lurut. Ibu sendirian di rumah. Mungkin ia sedang asyik bertasbih atau berdo’a tak henti-henti untuk keselamatan anaknya. Atau mungkin juga sedang terbaring lesu dengan kesakitannnya. Entahlah, ia hanya sendiri di rumah. Aku meninggalkannya sejak maghrib tadi.

Riuh warga mulai terdengar. “ada mayat lagi..!!”. Sorak sorai warga menembus malam. Ibuku terkaget dan keluar ditemani lampu senter yang redup. Ia nampak mulai masuk di kerumunan warga yang sedang ramai. Betapa kagetnya ia, melihat sekujur tubuhku tergeletak dengan dada ditembus dua peluru. Jerit tangisnya menyeruak membelah malam. Matanya bening dan pipinya merah merekah. Aku bisa melihatnya sebelum aku benar-benar menghembuskan nafas terakhir.

“Ia ditembak polisi”. Begitulah warga menjelaskan.

*SELESAI*

0 komentar:

Posting Komentar

 
;