Sabtu, 10 Desember 2011

Cerpen - Shimponi Kucing Malang


Namaku Lina. Aku adalah seekor kucing betina. Hidupku biasa saja seperti kucing lainnya. Baru dua hari ini aku melahirkan seorang anak. Namun entah apa yang terjadi sehingga anakku kini tak lagi bersamaku. Begitulah, sejak Ia menghilang aku selalu termenung disini sendiri. Menikmati hari-hariku dalam kesepian. Entah bagaimana caranya aku bisa menemukan anakku. Tak ada satu pun surat kabar yang mau mengiklankan beritanya. Setiap sudut kota ini kudatangi. Namun tak pernah ada titik jelas dimana Ia berada.

Pagi ini gerimis sudah menghilang. Mentari diam-diam mulai mengintip. Ayam-ayam tetangga mulai keluar mencari makan. Yah, ayam adalah seorang teman baikku. Ia selalu perhatian terhadap apa yang menderaku. Tapi sayang, Ia tak bisa membantu lebih banyak. Ia hanya turut berbela sungkawa atas apa yang menimpaku. Aku mengerti, karena mereka pun sibuk mencari makan dan menyelesaikan urusan mereka sendiri.

Dari balik pintu, Nyonya Erna keluar membawa sejumlah koper besar. Matanya kosong, kesedihan menyelimutinya sama sepertiku. Nyonya Erna adalah majikan ku yang sudah lama mengurus dan membiarkanku tinggal dirumahnya. Tapi setelah hari ini, beliau akan pergi meninggalkanku. Ia digugat cerai oleh suaminya. Putusan sidang sudah keluar dan hasilnya adalah mereka cerai. Betapa remuk batinnya pagi ini, sama seperti batinku. Ia diceraikan lantaran tak bisa mempunyai keturunan. Mereka sudah berumah tangga selama 10 tahun. Aku sadar, selama aku berada dirumah itu. Yang sering terjadi adalah pertengkaran antara suami istri itu. Hal-hal sepele bisa berujung menjadi masalah yang besar dan mengharuskan mereka beradu mulut sampai mengumpat dengan kata-kata kasar.

Kalau menurut kesimpulanku sih, semua berawal dari itu. Setelah beberapa bulan lalu melakukan tes, ternyata Nyonya Erna dinyatakan mandul. Dua adiknya yang lain pun dikabarkan demikian, tidak bisa mempunyai anak. Nyonya Erna berkali-kali memberi alternative kepada suaminya untuk mengadopsi seorang anak. Namun suaminya yang memiliki beberapa perusahaan maju selalu menolak usul tersebut. “Aku hanya butuh keturunan yang berasal dari darah dagingku sendiri. Aku butuh seorang anak yang bisa meneruskan dan memimpin perusahaan-perusahaanku kelak. Buat aapa aku susah-susah bekerja dari pagi ampe malam kalau toh akhirnya aku tak punya keturunan”. Begitulah, dia selalu berkata demikian dan ujung-ujung Nyonya Erna akan menangis lirih dan begitu dalam. “Apa yang bisa kuperbuat Tuhan, apa yang bisa kulakukan agar suamiku bisa mengerti dan faham bahwa engkau masih belum memberiku anak?” pertanyaan it uterus berulang terdengar dari bibirnya yang sesekali terkena tetesan air mata yang jatuh dari mata dan menetes dari pipi dan sampai ke bibirnya.

Setelah koper-koper diangkat oleh sopir ke dalam mobil. Nyonya Erna menghampiriku. Ia tersenyum dan membelai-belai rambutku. Ia tampak sedih karena harus kehilanganku. Ia akan kembali ke rumah Ibunya diluar daerah dan mungkin ini adalah terakhir kali kami saling melihat. Aku pun hanya terdiam. Betapa beban dan masalah-masalah ini begitu berat. Nyonya Erna memintaku untuk ikut dengannya. Tapi aku berniat untuk menemukan anakku terlebih dahulu. Ia pun begitu mengerti betapa kehilangan anak begitu sangat menyakitkan walaupun Ia sama sekali tak bisa mempunyai anak.

Setelah lama memelukku, Ia pun masuk ke dalam mobil. Desiran angin membawa mobil itu melaju dan perlahan menghilang dari tatapanku. Majikan yang teramat baik sudah pergi, kini saatnya aku bangkit. Harus berjuang untuk hidup dan menemukan anakku. Anakku yang terlahir dari perutku. Betapa aku merindukannya. Entah siapa yang telah merampas dan membuatku terpisah dengannya. Bayangkan saja, kurang dari satu hari aku bisa melihat matanya, aku belum bisa memberi makan. Ia sudah menghilang.

Hari menjelang siang. Matahari tepat berada di atas kepala. Ayam-ayam mulai berdiam dibawah pepohonan beristirahat. Pohon anggur di depan tampak kering. Sesekali menjatuhkan daunnya yang sudah tak mampu lagi berdiam di dahannya. Adzan zuhur tampak menggema dari cerobong-cerobong masjid. Aku melangkah pelan keluar dari gerbang rumah. Hari ini aku bertekad harus menemukan kabar tentang anakku. Siang itu aku berjalan dan terus mencari. Kota ini ramai juga, siang-siang masih banyak orang yang melakukan aktivitasnya. Ada yang asyik menjaga took boneka. Ada yang menjaga took sepeda. Bahkan sekilas ada yang tertidur karena kelelahan.

Begitulah manusia, mereka memiliki kesempatan luas untuk memenuhi kebutuhannya. Pekerjaan terlampau banyak buat mereka. Tapi kenapa dikoran-koran selalu diberitakan tentang banyaknya sarjana yang pengangguran. Tentang banyaknya remaja yang bunuh diri lantaran susah mencari kerja dan kebutuhan hidup tak terpenuhi. Entahlah, mereka mempunyai jalan fikiran masing-masing. Aku hanya bisa menyimak dari Koran yang kebetulan berserakan di Meja saat Nyonya Erna mulai enggan membaca. Tapi kenapa, untuk memasukkan iklan pencarian sebuah kucing tak pernah termuat. Apa manusia itu sudah tak peduli dengan kehidupan kami. Atau mereka menganggap kami tak pantas memiliki hidup.

Di depan sebuah toko buku, tanpa sengaja aku bertemu dengan Leo. Leo adalah seekor anjing tetangga yang begitu jahat. Ia berulang kali ingin mencelakanku. Bahkan pernah pula dia menggigit kakiku yang membuatku harus berdiam dan istirahat selama seminggu. Siang itu Leo tampak kebingungan, aku menatapnya dari jejauhan. “Sialan, semoga Ia tak melihatku”. Aku terus berucap do’a dalam hati.

Namun akhirnya dia mendekati juga. Mungkin bau ku sudah tak begitu asing tercium oleh hidungnya. Leo adalah seekor anjing rakus. Ia selalu masuk ke dalam rumah majikanku dan memakan apa saja yang bisa dimakan. Leo tak pernah peduli meskipun akhirnya ia sering kena lempar oleh para pemilik rumah. Kami pun berhadapan kurang dari satu meter. Matanya terlihat begitu buas dan nafasnya tak teratur terengah-engah. Seperti baru saja berlari menghindari kejaran Tuan rumah yang telah ia selinapi untuk mencari makan.

“Kamu kemana Lina?”

Aku hanya terdiam. Kenapa harus bertemu saat ini. Kenapa harus bertemu Leo disaat aku harus mencari anakku.

“Aku mencari sesuatu”

“Sesuatu ? apakah itu?”

“Tak penting kamu tau”

“ayolah Lina, siapa tau aku bisa membantumu”

Sorot matanya mulai beku. Entah kenapa, tumben hari ini ia tak galak. Tumben hari ini ia mau berdiskusi. Karena biasanya ia langsung menerkam dan mengejarku sampai aku kabur terbirit-birit. Akhirnya aku pun mencoba mengatakan semuanya padanya.

“Aku mencari anakku Leo”

Ia terkaget mendengar ucapanku. Matanya bening seperti ada air menggantung. Aku hanya terdiam melihat perubahan Leo setelah mendengar ucapanku. Baru aku tersadar dan mengingat. Beberapa bulan lalu Leo juga pernah kehilangan anaknya. Ia menemukan bangkai anaknya terkujur di dekat selokan rumah. Darah mengucur dari telinga dan matanya. Ia nampak terpukul setelah kejadian itu. Oleh sebab itulah ia mulai menjadi brutal. Ia seakan tidak terima dengan takdir yang menimpa anaknya. Ia mulai memangsa siapa saja. Ia mulai sering bikin onar di dalam rumah-rumah warga. Beribu cacian setiap hari terucap untuknya. Tapi hari ini aku melihat sosok berbeda dari dirinya. Ia hanya terdiam, sembari debu-debu jalanan menghampiri bulu-bulu ditubuhnya. Tanpa berucap lagi, ia pun melengok membalik arah meninggalkanku.

Aku masih tak bergeming, karena kakiku sudah mulai pegal menyusuri kota. Dan malam sudah menyapa. Rembulan bersinar pucat. Angin-angin bertiup segala arah. Para pedagang mulai menutup toko dan pulang beristirahat. Aku termenung sendiri. Perutku hanya terisi makanan seadanya. Sambil berlagu dalam hati, aku pun terlelap didepan sebuah toko mainan. Tak peduli dingin menyelimuti. Dan sesekali nyamuk membuatku terjaga dimalam hari.

****

Keesokan harinya, mentari sudah mulai keluar dari peraduan. Ayam-ayam terdengar berkokok dan jalanan sudah mulai terisi oleh lalu lalang kendaraan. Aku membuka mata dan terkaget. Disekelilingku, di rolling dor-rolling dor toko, dipersimpangan jalan, di setiap batang pohon tertempel iklan pencarian kucing. Lengkap dengan ciri-ciri dan alamat yang bisa dihubungi. Aku melihat beberapa kawanan anjing sibuk menempel iklan itu. Salah satu diantaranya adalah Leo. Aku tersenyum dan tak menyangka Leo sebaik ini. Aku pun berlari mendekatinya dan mengucap beribu terima kasih padanya. Leo hanya menjawab, “Terus berjuang kawan, kau harus bisa menemukan anakmu”. Ia pun tersenyum dan meninggalkanku.

Aku bersyukur ada yang mau peduli denganku. Aku bersyukur dan lebih semangat lagi untuk mencari. Aku mulai memasuki kawasan elit. Disana pun ribuan iklan itu sudah terpampang. Di pusat-pusat kota dan disetiap halte bis. Nampak seorang petugas kebersihan mulai mencabut iklan-iklan itu. Iklan yang mungkin menurut mereka bisa merusak pemandangan kota. Aku kecewa melihatnya. Betapa lelah kawanan Leo menempelnya dan dia tanpa merasa berdosa seenaknya mencabut dan membuang ke tong sampah.

Air mataku menitik. Betapa mereka tak mau peduli. Apalagi membantuku. Aku berjalan lagi. Tampak di samping kiriku seorang anak kecil dan Ibunya memandang poster iklan itu. “Bu, Lihat, kucing ini cantik sekali” sembari tanggan anak itu menunjuk poster itu. “Cantik? Biasa aja, apanya yang cantik, ayo jalan!” Ibu itu menarik tangan anaknya dan anak itu masih saja menengok poster itu meskipun ibunya memaksanya jalan.

Selama satu jam berjalan. Aku melihat kerumunan aparat berjaga-jaga. Memegang senjata lengkap dengan mobil-mobil baja. Ada apa sebenarnya, ribuan orang dari kejauhan menonton. Warga yang juga penasaran sama sepertiku. Setelah mendengar gonjang-ganjing warga yang berduyun-duyun dating. Ternyata hari itu terjadi baku tembak antara aparat dengan seorang yang diduga teroris. Seorang yang membawa bom dibadannya dan berniat mengebom istana Negara. Orang itu diseret beserta dua kawannya yang nampak sudah tewas. Darah mengucur.

Aku berlari ke pinggir jalan, menyelinap masuk dan dibalik gerbang itu aku menemukan sosok yang kucari. Yah, anakku, anak yang selama ini begitu kurindukan. Aku terkujur mendekapnya. Ia pun hanya tergeletak. Tak ada nafas. Darah juga mengucur dari teling dan matanya. Dadanya tertembus peluru. Aku meraung-raung menangis sekeras-kerasnya sambil mendekapnya. Badannya dingin kaku. Betapa aku merindukanmu Nak, dan aku menemukanmu dalam keadaan seperti ini.

Manusia-manusia itu berlalu lalang. Mereka masih saja tak peduli. Aparat-aparat yang berjuta mulai acuh dan sesekali kakinya menyenggol badan kami. Sebuah peluru menembus dadanya. Peluru nyasar atau apapun namanya, yang pasti anakku telah tiada. Hujan pun menetes membawa perlahan darah yang masih mengucur dari badannya. Awan tampak mulai gelap dan aku pulang membawa bangkainya.

Petir bergelegar. Aku terbangun dari mimpi. Mimpi yang teramat panjang. Mimpi yang mungkin bisa menjawab pertanyaanku tentang siapa yang membunuh anakku. Tanpa sadar, sudah sehari penuh aku tertidur pulas di atas kuburannya. Aku pun terbangun dan merapikan kembang-kembang diatas kuburannya.

Desember 2011

0 komentar:

Posting Komentar

 
;