Selasa, 17 Juli 2012

Tentang Ayuni dan Beberapa Kerinduan




Mendung. Betapa semilir angin kian kunanti
Seraya kutuliskan beberapa larik isi hati
Pada selembar kertas hampa dan sepotong roti

Tentang kerinduan dan pesona matamu
Tentang mimpi dan cintamu yang dulu

Ayuni, bukankah kerinduan adalah kutukan
Bait pertama yang kutulis tanpa emosi dan tekanan

Lalu tanganmu memegang pena dan menggores
Rindu adalah titik hujan yang sering menetes

Kopi ini kuminum jua, bukankah cinta adalah sebuah rasa
Bukankah cinta adalah perasaan yang menuntunku tanpa memaksa

Gerak bibirmu menari, pena kian berjalan dan kau menulis
Cinta adalah batas pandang dari hati yang enggan teriris
Cinta adalah lembaran kosong yang tak sempat kau tulis

Ayuni, ketika api dan air mulai berpadu, awan menghitam
Langit kelam, burung mati dan diam dalam peraduan malam
Lantas apa yang akan kau ucapkan pada malam yang kian temaram

Matamu menatapku, kau tersenyum beberapa detik
Lalu berucap, aku akan membiarkan air mataku jatuh menitik
Seirama dengan lantunan gitar yang tak pernah jadi kau petik

Aku hanya terdiam mendengar jawaban bibirmu
Di bait terakhir, aku mencoba mulai menerka hatimu

Ayuni, apakah degupan di jantung ini tak kau sebut cinta
Apakah tatapan mataku yang tajam tak kau tangkap sebagai cinta

Kau tersenyum dan berucap, coba lihat dedaunan yang menyimpan embun
Coba kau ingat senyum Ibu dan dahinya mengkerut saat melamun
Coba kau baca setiap buku yang sering kau bawa dan kau tuntun
Itulah hatiku, fahami ia dan belajarlah membacanya dengan santun

Kelak, waktu dan kerinduan yang akan menuntun kita tuk betemu

Januari 2012

0 komentar:

Posting Komentar

 
;