Mendung. Betapa semilir angin kian kunanti
Seraya kutuliskan beberapa larik isi hati
Pada selembar kertas hampa dan sepotong roti
Tentang kerinduan dan pesona matamu
Tentang mimpi dan cintamu yang dulu
Ayuni, bukankah kerinduan adalah kutukan
Bait pertama yang kutulis tanpa emosi dan tekanan
Lalu tanganmu memegang pena dan menggores
Rindu adalah titik hujan yang sering menetes
Kopi ini kuminum jua, bukankah cinta adalah sebuah rasa
Bukankah cinta adalah perasaan yang menuntunku tanpa memaksa
Gerak bibirmu menari, pena kian berjalan dan kau menulis
Cinta adalah batas pandang dari hati yang enggan teriris
Cinta adalah lembaran kosong yang tak sempat kau tulis
Ayuni, ketika api dan air mulai berpadu, awan menghitam
Langit kelam, burung mati dan diam dalam peraduan malam
Lantas apa yang akan kau ucapkan pada malam yang kian
temaram
Matamu menatapku, kau tersenyum beberapa detik
Lalu berucap, aku akan membiarkan air mataku jatuh menitik
Seirama dengan lantunan gitar yang tak pernah jadi kau petik
Aku hanya terdiam mendengar jawaban bibirmu
Di bait terakhir, aku mencoba mulai menerka hatimu
Ayuni, apakah degupan di jantung ini tak kau sebut cinta
Apakah tatapan mataku yang tajam tak kau tangkap sebagai
cinta
Kau tersenyum dan berucap, coba lihat dedaunan yang menyimpan
embun
Coba kau ingat senyum Ibu dan dahinya mengkerut saat melamun
Coba kau baca setiap buku yang sering kau bawa dan kau
tuntun
Itulah hatiku, fahami ia dan belajarlah membacanya dengan
santun
Kelak, waktu dan kerinduan yang akan menuntun kita tuk
betemu
Januari 2012
0 komentar:
Posting Komentar