Pernah warnai dunia,
Puisi terindahku hanya Untukmu’.
Antara baris lagu itu. Terselip
beberapa tanya untukmu. Pertama, adakah kau tersenyum mengenangku? Atas luka
yang kau hidang di bola mataku. Sejak kau menangis dipeluknya. Menghadirkan
cemas yang ganas. Benci yang caci. Kedua, kapan lagi kau mencintaiku? Mengusap
ribuan sesal dan bara di dadaku. Mengeringkan mata dengan pesona senyummu. Bibir
merah yang indah. Garis senyum yang ranum. Ketiga, maukah kau menjadi bait-bait
puisiku lagi? Menjadi telaga dalam kering imaji. Menjadi awan saat mentari
berpijar menyinari. Atas panas yang beringas. Sejuk yang peluk.
*Mungkinkah kau kan
lembali lagi. Menemaniku menulis lagi.
Kita arungi bersama. Puisiku terindahku hanya Untukmu’.
Jika kau diam tak bergumam. Ini
tanya terakhir, dariku yang mencintaimu penuh khawatir. Sudikah menikah
denganku?. Menyatukan mimpi tanpa tepi. Memupuk cinta yang lapuk. Mewarnai
hidup yang redup. Membagi kasih tak letih. Memadu hati hingga mati. Sekali lagi, Sudikah menikah denganku?
Juni 2012
* Petikan Lagu Jikustik
‘Puisi’
0 komentar:
Posting Komentar