Bibirnya yang retak mulai menggetar suara serak
Tak kutangkap pula makna dan maksud arahnya
Bahasa Indonesia yang terlontar terbata-bata
Tergambar ia lupa mengenyam sekolah dulu kala
‘Cinta, kebahagiaan dan Jodoh adalah aturan-Nya.
Kita hanya berjalan mencari menemu Ridho-Nya.
Tinggalkan ia. Bukan bermaksud menyalahi Tuhan.
Tapi ini adalah gambaran sebelum kau menyulam rugi.
Sebelum kau menghitung tumpukan sesal”.
Tatapnya tajam seperti tau semua gambaran
Perempuan itu harus kau tinggalkan
Perempuan itu adalah petaka di liku hidupmu,
Karena perempuan sebenar perempuan adalah
yang bisa menuntun lelaki ke surga paling hakiki
2012
Tangkap angin itu, kita akan bermain layang-layang
Menjauh dan terbang dari segala hitam bayang
Tanganmu seperti retak dalam sejumlah petak
Sebulir angin terlepas tak mampu tertangkap
Helai-helai rambut yang masih tersisa
Baiknya kau bakar perlahan tanpa tergesa
Nyanyian lazuardi dan selembar surat cinta
Kau benamkan saja dalam laci-laci masa lalu
Juga perempuan yang masih ingin kau pandangi
Segenap tai lalat mengukir manis wajahnya
Biarkan angin menerbangkan barisan namanya
Menyusuri lorong-lorong kecil di kuncup bunga
Ada dara muda dengan wajah merah merona
Tutup saja semua kisah yang menyebut manjanya
Tentang kau mengiring langkahnya dengan roda dua
Tak menemu jalan kecil ke halaman rumahnya
Hari ini, rangkaian kata menemu baris menuju bait
Alasan bunuh diri semakin kuat
Mohon jangan kau penat
2012
Di mata itu, ada ingatan tentang beberapa lilin
Nyanyian ulang tahun dengan irama tak merdu
Kue kecil yang bergeser tersapu liris gerimis
Wajah perempuan risau menyimpan butir tangis
Air mata yang terlampau tergenang dalam teh manis
Ia aduk sekali lagi dengan ketegaran dan kemalangan
Dua lelaki di depannya seperti buta akan jalan pulang
Karena pintu masih tertutup dan air danau tetap mati
‘Hati yang kau cari masih bermain dengan belahannya’
Begitulah pemaparannya dengan nada setengah suara
Sembari kue-kue ia benamkan dalam kilauan piring
Memandang lekat ke mata lelaki yang tampak kering
Dari sebuah pesan masuk,
“Pulang saja, kau takkan bisa menemuiku’
Perempuan setengah baya itu seperti tau
Rindu dua lelaki itu terbunuh pelan-pelan
Seperti danau yang menyimpan
sejuta kepedihan terdalam
‘Pulanglah Nak, Rindu itu akan menuntunnya padamu’
2012
Shubuh sekali, lelaki berjenggot tebal itu masih mencari Tuhan. Dikoyak-koyaknya sampah dipinggir kali, Tuhan tak muncul sesekali. Di dongakkan mukanya ke angkasa, Tuhan masih tak terasa.
Secuil dendam tertanam pada kokok ayam
Membuat dua mata harus terbuka pagi buta
Pisau-pisau tajam terasah menanti di jendela
Gerak-gerak angin shubuh dingin merajalela
Ia harus pergi keluar pintu tanpa selimut
Mengayuh rindu pada meja berlumut
Karung-karung ia letakkan seperti mayat
Daging sapi mentah harus segera disayat
Potongan demi potongan ia gantung
Mulai kepala, kaki, leher dan jantung
Darah mengucur pada tanah berlumpur
Daging sapi segera dilepas dengan harga pantas
Maka, ujung mata pisau mulai berkarat
Seperti mata sapi tertutup dalam sekarat
2012
Dari jemarinya tomat-tomat itu melebur
Serupa angan dalam debur bergugur
Beberapa cabe, garam bercampur
Keringat letih yang enggan mengucur
Ia tumbuk kuat hingga hancur
Ajinomoto setitik saja ia tumpah
Kangkung segar halal hasil sawah
Hijau muda serupa mata yang binar
Walau penat ia sungguh terlihat tegar
Membungkus berbagai pesanan dengan benar
Mereka tak sempat menghitung ribuan jam
Waktu yang berdetak sebelum terpejam
Atas mimpi dan liku hidup yang kejam
Mengusir segala hari depan yang suram
Juni 2012
Malam hitam selayak kopi tubruk
Di atas meja mendekati ambruk
Denting jam biarkan berputar
Meski dingin, bibir jangan gemetar
Air hangat tertuang tepat di jantung
Membakar hati dan ingin yang buntung
Silahkan di minum, sebelum jalanan ramai
Anak-anak malam keluyuran mencari damai
Saat kopi mulai hilang separuh
Resah itu akan lenyap nan luruh
Tingggalkan tempat ini sejenak
Sebab esok ribuan masalah tak lagi jinak
Juni 2012
Sisakan beberapa genggam tanah liat
Kami ukir dengan hati dan jari giat
Meski alat sederhana kami bukan plagiat
Akan kami rampungkan secepat kilat
Karena hidup seperti mencipta patung
Ada puluhan rugi dan sekian untung
Ada ribuan masalah tak bisa terhitung
Kami tak takut menggubah berbagai bentuk
Walau kantuk terjaga semalam suntuk
Sebelum pagi anak-anak menangis ngeri
Sebab uang jajan lupa dititip di laci lemari
Juni 2012
Perempuan bersarung separuh baya. Badan tertutup lusuh kebaya. Masih asyik menuang tepung bercampur gula. saat gerimis menangisi sandekala. Ditangannya, sejumlah asap mengepul. Ramai pelanggan mulai muncul. Gerak lincah jemari membolak balik. Serupa penari
Puluhan pembeli masih berjejer. Serupa gerak angannya yang geger. Semangat pun tak jua bergeser. Bungkusan-bungkusan siap ditukar dengan logam dan kertas. sebelum masuk dan berdiam dalam tas. Untuk senyum, baju dan sepatu anak yang pantas. Tatkala jarum jam di angka sepuluh. Ia mulai bersimbah peluh. Menemui anak dengan tawa tanpa setitik keluh.
Juni 2012
Sandekala : Waktu Menjelang Maghrib
Aku putri bangsawan. Dengan sejumlah pesona menawan. Serupa lukisan Monalisa. Kulit mulus tanpa cela tersisa. Senyum manis tak ubah Hawa. Pengubah resah menjadi tawa. Bibir indah selayak Cleopatra. Hidung mancung tanpa pura-pura.
Aku titisan berdarah biru. Mencipta rindu di sela haru. Beri aku puji. Jangan titip segala janji. Yang kosong tanpa bukti. Sebab aku bermimpi tentang lelaki. Sederhana tak menyerupai nabi. Meminangku dengan hati suci.
Juni 2012
Kepada Susanti
Sepatu merah Cinderella menempel dikakimu. Dengan sweater kuning cerah tak beraroma darah. Seirama warna kulitmu kuning bercahaya. Kau berjalan tergesa dibawah gerimis kecil. Gerimis yang berpadu dengan jantungku. Suaramu bening menyapu hening. Senyumu tipis berair tak kering. Tatap matamu adalah panah fajar yang menyingsing. Genggam aku, sekali saja biar kurasa lembut kulit dan harum sejuk tatapmu. Karena melihatmu sedetik saja, aku terlupa bagaimana sakitnya menunggu mati.
9 Januari 2012
Kepada Susanti (2)
Bagaimana aku tak mengatakan aku jatuh cinta, jika pesona matamu adalah mimpi berturut selama seminggu. Semampai badanmu adalah jelmaan sejuk di musim panas. Gerak senyum dan tawamu adalah cahaya di malam gelap. Maka biarkan aku jatuh cinta, sekali, dua kali atau berkali. Sebab dengan merindumu, ujung jemariku bergerak cepat menuntunku menulis beberapa bait tentangmu. Tentang rindu dan mimpi sendu. Karena ku yakin, di wajahmu tersimpan begitu banyak puisi.
9 Januari 2012
Kepada Susanti (3)
Siang ini. Sakit kepala mendera. Itu kau ucap lewat sebait pesan. Namun seperti biasa ada tawa disela perihmu. Hahahaha. Seperti itu. Selalu kau sempatkan tertawa. Namun dari balik jendela, aku mulai tak mengenal angin. Entah dari mana ia datang. Dari rambutmu kah atau dari ujung hidungmu yang sedikit mancung. Maka sejak ini, aku terbiasa dengan hampa. Menunggu pesan atau sekedar membuka pintu. Berharap hadirmu adalah kerinduan terdalam sepanjang waktu.
9 Januari 2012
Kepada Susanti (4)
Sejak kapan nama itu mulai mengusik perlahan nan pasti. Susanti. Sebuah nama singkat yang kian lekat dihati. Nama itu adalah sekuncup bunga diujung belati. Nama yang tak mampu kuraba atau kudekati. Nama yang sering terucap dalam gemetar bibir. Nama yang tak ubahnya seperti hujan nan petir. Menggelegar dan terus menyita sedikit waktuku berfikir. Namun dengan mengenal nama itu. Angin senantiasa menerpaku semilir. Mengantar senyum pagi di bibir. Ah, aku ingin mencintaimu saja. Cukup itu saja.
2012