Entah sejak kapan,
Ah, biarlah kita terlelap
2011
... Tentang Puisi, Kata, Hidup dan Malam...
Kita terkadang lupa
tentang warna-warna itu
dan beberapa not yang tak berirama
sehingga kita berbeda terlalu jauh
dari sebuah keasingan dan kerinduan
Cinta terkadang begitu
maka jangan disimpan erat-erat
biarkan ia mengalir dari helai-helai rambut
atau menetes dari sela-sela jarimu
hingga ia berhenti sendiri
pada seorang yang bisa memaknaimu
Akan kukatakan saja hari ini
tentang keraguan dan keresahan
tentangmu yang mungkin akan
menikah dan beranak dengan lelaki lain
dan aku mulai menjauh dari surga itu sendiri
29 September 2011
Celebrate Day
Kita akan selalu menyebutnya malam
saat rembulan muncul diperaduan
atau saat-saat lampu jalan mulau berkilauan
sepuluh kali atau beberapa kalipun
jalanan ini tak pernah memberi rasa bosan
dan hanya menyisakan berjuta kerinduan
aku begitu mengenangnya, dikala lilin menyala
atau saat sang ibu malu-malu bicara
menyajikan teh hangat dan sepiring roti
ruang ini lumayan gelap, dan kau penerangnya
melihat senyum atau suaramu yang mengendap
membisik dan sesekali tertawa memaknainya
sesekali juga aku ingin melihat cermin dimatamu
sambil menulis sajak dengan helai rambutmu
atau menatapmu sesaat dengan tersenyum
sebelum kau tutup pintu dan kian berlalu
sebab di surga nantipun aku mungkin tak menjumpaimu
dan hanya pada matamu aku bisa melihat diriku seutuhnya
Solong, 22 September 2011
Kau datang lagi dengan sorot mata yang sama
seperti
membawa anakmu yang telah ditinggal bapaknya
memohon padaku menikahimu dan menjadikanmu
perempuan kedua, karena aku telah hidup
dengan seorang istri dan anakku
Yang menurutku begitu cantik dengan mata berbinar
betapa seutas hati sedikit tak bergetar
dan darah disekujur tubuhku sedikit tak mencair
betapa kau terlupa, atas apa yang kau ucap
bagaimana kau pergi membiarkanku sendiri
menangis dalam malam sepanjang enam kilometer
atas permintaanmu membelikan sebuah kulkas
dan rice cooker yang waktu itu aku belum mampu
kembalilah, disini sudah bukan rumahmu
betapa langkahmu kian goyah dan lunglai
dan aku sedikit tak bermaksud menegakkannya
apalagi berniat merangkulmu kembali
aku terlalu bahagia dengan hidupku kini
dibawah pohon anggur, ia masih memakai baju itu
baju tanpa lengan berwarna putih bercampur debu
jauh dari ice cream padle pop ataupun sepeda mesin
ia hanya bermain dengan sebilah kayu memetik buah anggur
gadis kecil
setelah ia memperkenalkan dirinya setengah jam lalu
ia memberiku dua biji buah anggur, entah apa maknanya
dengan senyum manis dan lantas ia berlari
kebawah pohon anggur menemani adiknya
kali ini aku melihat surga jauh dimatanya
sebelum waktu kerap membawanya ke seorang lelaki
dimana ia akan menangis setelah dipatahkan hatinya
atau tersenyum saat cinta pertama menghinggapinya
entahlah, ia belum mengerti jauh dunianya
yang ia tau hanyalah menikmati buah anggur yang jatuh
dan tercampur oleh debu, tanpa ragu memakan
dan tersenyum puas lantas mengusap keringatnya
sebelum malam memaksanya untuk pulang kerumah
rumah yang membuatnya tersadar bahwa ia masih anak kecil
18 September 2011
Suatu saat nanti, aku ingin menikahimu
menjadi lelaki yang akan tidur disampingmu
yang membenarkan letak bantalmu
saat posisi tidurmu mulai tak nyaman
atau mungkin menemanimu memberi makan ikan
yang kita pelihara di kolam belakang
dengan bunga-bunga mekar disekitarnya
yang senantiasa kau lihat, saat aku
mulai beranjak kerja dan anak-anak mulai bersekolah
belajar membaca dan mengeja namanya sendiri
disaat hujan menyisakan hujan
dan embun terlalu enggan memberi teduh
suatu saat nanti, entah kapan itu
aku ingin duduk bercerita dan kau disampingku
bagaimana tingkah si Dadang saat ia menangis
atau bagaimana lucunya saat kau mendongeng
kepada anak kita yang masih berumur satu tahun
maka biarkan pintu rumah tertutup selagi ku tiada
karena aku lelaki pertama yang akan membukanya
Pancor, September 2011
Kita masih dalam gelap seperti meraba
maka biarkan tanganku erat memelukmu
biarkan tubuh kita menyatu membisu
menghembuskan nafas yang sama
kita terdiam dan lelah dalam senggama
berulangkali ataupun terlelap sama sekali
aroma kita bercampur, gerak kita memacu
seperti tengah menikmati dan menyesali
nasib yang sama bertahun lalu
biarkan daun-daun mawar itu layu
tak berair, kita jangan peduli sama sekali
sebab tubuh masih diingin didekap
dan bibir masih ingin dilumat atau dijilat
setiap apa yang kita perbuat adalah takdir
hingga titik-titik itu tak terasa
melebur dan mencair dalam wajahmu
bakar saja, aku mulai tak peduli
sebab aku sudah terbakar habis
jauh sebelum kau menyalakan api
didekat mata dan ujung kakiku
Dia berjalan masih mengenakan kebaya
berwarna putih dan bermotif bunga-bunga
dengan langkah-langkah kecil layaknya perempuan
terkadang tersenyum tatkala berpapasan
dia adalah perempuan sasak satu-satunya
dia adalah senjata saat bumi masih terjajah
dia adalah sebuah batu saat yang lain terkikis
bahkan terbuang dan bercampur aroma modern
tanpa make-up dan rambut panjang kian terurai
dengan sarung cantik melingkar dipinggangnya
dia adalah perempuan sasak satu-satunya
ditengah bangunan tinggi, dia masih berjalan menunduk
tanpa memamerkan paha atau membusungkan dadanya
tanpa peduli ribuan omongan masuk ditelinga
ia tetap berjalan membawa sekeranjang buah
yang akan dijual pagi-pagi bersama Ibu dan adiknya
dia adalah perempuan sasak satu-satunya
Ia datang dengan lekuk tubuhnya
dengan bungkusan berwarna merah muda
Ia adalah perempuan malam dalam gerimis
dengan gelang dan cincin di tangan
cincin seorang tunangan yang pergi setahun lalu
maka setiap gerak tubuhnya adalah air
akan kuhempaskan berulang dengan suara
telanjang, seperti bayi berumur satu bulan
tanpa pernah tau apa namanya dosa
namun yang terasa semua begitu seperti surga
maka perempuan itu kini bermain dengan matanya
sesekali menoleh dan mengeringkan air di pipi
yang tak mampu ia hapus hanya dengan tisu
dan kembali hilang dalam gelap-gelap hatinya
dalam redup-redup jiwanya, ia adalah sebuah merpati
yang pagi-pagi harus kembali sebelum ia berujung mati
Pancor, 7 September 2011
teriakkan kata itu lagi,
saat ranting-ranting kamboja berjatuhan
saat anak tujuh tahun menangis dikuburan
meratapi ibunya yang mati siang tadi
teriakkan kata itu lagi,
ketika sunyi menari ditepian hati
dan ribuan setan mulai singgah dikepala
dan bernyanyi-nyani dengan satu mata
teriakkan kata itu lagi,
saat bapak menghamili janda muda
saat seorang yatim piatu kian teraniaya
dan makan ayam hanya sekali setahun
teriakkan kata itu lagi,
saat ribuan ummat sujud tanpa masalah
saat tonggakan dibank terlupa oleh lebaran
dan seorang peminta masih terlelap diteras mesjid
teriakkan kata itu lagi,
ketika ayam berkokok dipagi hari
ketika segelintir perempuan mulai menjual diri
untuk membeli baju dan sepatu hak tinggi
Sungguh hanya ingin mendengar kata itu
dari cerobong mesjid atau dari bising jalan raya
bergumam, berdegup, bersuara dan berteriak lantang
Allahu Akbar,,,
Allahu Akbar,,,
Allahu Akbar,,,
dalam lelap malam dan dingin pagi
20 Agustus 2011
Senja telah menukar ingatannya
tentang perempuan satu tahun lalu
perempuan hujan dengan mata yang tajam
yang sehari-harinya mengukir awan
dan menggenggam langit dalam tiap langkahnya
yang senantiasa bercerita tentang cintanya
dan sesekali menangis lirih di ujung malam
namun kali ini lelaki itu terdiam seperti bermain dalam lamunan
seakan lupa menghisap rokok yang masih menyala ditangannya
dan rambut itu tampaknya sudah tiga minggu tak disisir
sejak perempuan itu pergi bersama angin dibalik jendela kamarnya
jendela yang lusuh, dan sudah bertahun lamanya tidak dicat
jendela yang biasanya mengintip dan menebar senyum perempuan itu
yang terkadang membawa aroma mawar yang layu
mawar yang dibeli disebuah toko depan pasar lama
dan lelaki itu adalah malam
malam yang dingin, malam yang gelap
malam yang senantiasa mengubur mimpi-mimpi
dan malam yang bisa membuat mati dan tak bersisa
Agustus 2011
Kali ini kau masih terdiam dibawah gerimis
sesekali mengeringkan ujung rambutmu yang basah
kebimbangan menggantung diwajahmu
dilema,lebih tepatnya disebut
menentukan jalan mana akan kau tempuh
kau masih terdiam dipersimpangan itu
setelah sekian lama kau berlalu
meninggalkan rumah kecil dihatiku
rumah sederhana dengan dua kamar tidur
dan sebuah teras yang lumayan nyaman
disekelilingnya ditumbuhi pohon bonsai
dan bunga mawar dengan tujuh warna
yang dibelakangnya terdapat danau,
dimana ikan-ikan biasa bermain
dengan bocah yang masih belum punya nama
aku masih duduk dengan rokok dan segelas kopi
kali ini aku tak mendekatimu sedikitpun
bahkan enggan untuk sekedar menyapa
karena aku yakin kau sudah dewasa
dan tau kemana akan kau tapakkan langkahmu
namun sungguh sedikitpun aku tak menghalangimu
jika kelak kau putuskan membalik arah dan menapaki lagi
jalan-jalan kecil menuju rumahmu dihatiku
Agustus 2011
ketika pagi masih lengang
hanya terdengar suara dari speaker mesjid
sahur... sahur...sahur
seorang ibu terbangun dan memasuki dapur
dengan sarung lusuh yang tujuh tahun lalu
dibeli di pasar lama, sebelum dipindah ke terminal
pasar dimana bapak biasa berdagang setiap paginya
pasar yang juga memaksanya untuk jadi penganggur
kali ini ia memasak
membuat secobek sambel dengan aroma khasnya
walau mata masih ngantuk ia tak pernah mengeluh
seperti saat mendongeng anaknya ketika masih balita
tentang si kancil dan buaya yang berulang ia ceritakan
disaat semua telah terhidang ia mulai membangunkan
mulai dari suami yang sudah dua puluh sembilan tahun lalu bersamanya
kemudian anak-anaknya yang masih bermain dalam mimpi
ia tak pernah meminta anaknya untuk mencuci piring terlebih dahulu
atau menghangatkan sayur bayam sisa makan semalam
ia hanya berkata, makanlah sambil tersenyum kecil
surga terasa dekat dan menggantung dimatanya
makanan harus disantap pagi ini, makanan yang kita sepakati
harus mengakhirinya sebelum adzan subuh menggema
Selamat...
kau bisa membuatku jatuh cinta
berulang kepadamu
tanpa perlu kau melebur karang lautan
dan tanpa perlu kau mendaki gunung
aku sudah melebur dalam anganmu
betapa ingin melihat pelangi itu
muncul dalam bening matamu
yang sesekali berubah warna menjadi biru
atau sekedar melihat garis-garis tawamu
dalam butiran hujan dan rimbun dedaunan
betapa sulit menjatuhkan mangga dari hatimu
dan menanam ribuan kamboja yang dititip Ibu pagi tadi
membuahkan kebimbangan, apakah aku harus
mencari surga lain dan keluar dari hatimu
Luka itu kian menganga, aisha
dengan balutan-balutan kecil tak berwarna
dan darah kian menetes menjauhi surga
deburan ombak kian tak berasa
menghempas dan sesekali menelanjangi
apakah kau pernah mengerti, aisha
ada kicauan rindu dan ada gumpalan marah
karena kau pergi meninggalkan segala
membuatku terasing dari Tuhan dan cinta
memaknai surga dan neraka, aku mulai tak peduli
hanya ingin berjalan pada mimpi, sesekali terbangun
namun engkau terdiam dan mati dalam embun
Juli 2011
Rindu adalah sebuah pedang tajam
berkarat dan menempel dekat di ujung leher
Rindu adalah makanan yang dipenuhi lalat
dan terpaksa dimakan karena perut kelaparan
Rindu adalah tangisan bayi sepuluh hari
yang lahir tanpa bapak di hari lebaran
Rindu adalah kecemasan hati seorang Ibu menunggu
anak perempuannya yang belum pulang jam sebelas malam
Rindu adalah tatapan kosong bocah enam tahun
di depan toko es krim, tanpa uang sepeser pun dikantong
Rindu adalah jeritan perih seorang janda muda
menangisi kematian suaminya diatas kuburan malam-malam
Rindu adalah sajadah lusuh yang tak pernah terpakai
yang masih menggantung di dinding kamar dua tahun lalu
Rindu adalah detak jarum jam beku sore-sore
sementera perut keroncongan menanti saat berbuka
Rindu adalah tubuh yang menggigil
menanti hujan ditengah musim kemarau
maka, ikhlaskanlah rinduku membelai-belai relung hatimu
menghitung jumlah helai-helai rambutmu, memaknai
setiap jengkal tubuhmu dan menghirup aromanya
mesra, karena kau pun pasti tau betapa rindu terlalu menyiksa
Sabtu, 6 Agustus 2011
Aku mulai terlupa
akan warna-warna pelangi di matamu
yang bermunculan seusai gerimis
yang berkilauan seumpama emas
hijau, biru, ungu, seakan semua mengabur
dan tertumpah dalam debur
dibalik dedaunan hijau, dan bocah-bocah
asyik bermain di kali siang-siang
seperti beberapa bulan lalu
kau berulang menjatuhkan hujan dimatamu
mengalir pelan di pipi dan menetes digaris-garis bibir
yang akhirnya bermuara di laut biru
laut yang kusamai maknanya dengan hatimu
luas dan belum begitu kutau
Yah, sudah sekian lama aku tak menatap matamu
dan kuputuskan harus segera menatapnya hari ini
dengan mengintip diam-diam, atau bahkan
beradu pandang walau sedetik
karena hanya dengan menatap matamu
aku akan tau jalan pulang
03 Agustus 2011
Kau hanya terdiam dalam pagi
kaku, bagai daun tak tersapa embun
kau baca lagi
dari seorang lelaki yang mencintaimu dengan hati
meski terkikis hujan dan ditemani rayap
dan album foto usang pernikahanmu
dengan lelaki yang pergi tanpa pesan
membiarkanmu sendiri dengan bayi berumur satu tahun
dalam-dalam matamu, dapat tertangkap harapan
semoga lelaki tiga tahun lalu datang menyinggahimu
menjadi cahaya jiwa dan penyeka air mata
Juli 2011
Aku selalu menunggu dan mengagumi hujan
Sebab hujan bisa saja membawa senyummu
Tepat didepan mata tanpa harus bertemu
Atau membawa bayangmu mengintip
dari balik jendela kamarku yang mulai pudar warna catnya
seperti malam ini, kau bermain disudut-sudut kamarku
gemerincik hujan jauh membawa kakimu kesini
dan bergoyang dengan merangkul boneka ditangan
boneka yang sering kau bawa saat terbit purnama
kau tampak lebih gemuk hari ini
apakah karena hujan mengaburkan pandanganku
atau kau terlalu bahagia sehingga tumbuh begitu cepat
entahlah, yang pasti aku masih merindumu
seperti menunggu hujan malam ini
hujan yang terbiasa membasuh jiwaku
jiwa yang berbulan-bulan kering tanpa sentuhmu
Dirumahku, Selong, Juli 2011
ada bayi menangis lagi
dalam kantong plastik, dalam bak sampah
bayi yang berumur
dengan tai lalat manis di kening
bayi yang tak mau diakui bapaknya
bayi yang malu dibawa pulang Ibunya
tanpa seorang lelaki yang menghamilinya sepuluh bulan lalu
Hari ini ada bayi menangis lagi
tangisnya begitu perih dan takut
sementara seorang nenek memainkan serulingnya
berirama tentang cinta dan kesedihan
Awal Agustus