1) Lautku Sayang
Dari mana mengenal laut
Airnya biru bersimbah peluh
Kita sesekali menjamah asalnya
Sesekali semakin mengeruk hasilnya
Laut ini berasal dari darah
Darah pergulatan manusia
Tentang Aira, yang menjaga laut
Tentang sarung lembutnya yang basah
Menjaga laut semesta dan isinya
Sampai musim terlalu musim
Dan dedaunan semakin gugur
Mukanya polos, hatinya bening
Bercampur sampah menjadi keruh
2) Lagu Lama
“Balonku ada lima, rupa-rupa warnanya”
Lagu lama itu terdengar dari radio
Kau memandang aku memandang
Kita terbias, kau sudah dewasa
Tak lagi jadi boneka lucu
Dadamu busung hidungmu mancung
Berbeda dari waktu dulu kau sering menangis
Sesekali aku bertanya, lihatlah Aira,
Jari-jemari tanganku ada berapa?
Kau tersenyum karena jawabmu sudah kuduga
Kau hafal tanpa perlu berucap
Lantas, apakah kau masih tau
Berapa kali detak jantungku berdenyut setiap detiknya
Kau tak mampu menjawab seperti tempo dulu,
Karena aku pun tau detak kita memcau sekencang-kencangnya
Sampai kita tak bisa menghitung,
Yah, semuanya dikarenakan cinta
3) Perasaan Berkabut
Lirih gemuruh runtuh di kotaku
Pepohonan tumbang dan sajak mulai mati
Ia gagu, tak berbicara sepatah kata
Gadis kecil itu bernama Aira.
Bias kuterka namanya dari gerak jemarinya
Atau dari bibirnya yang mulai kering,
Kemana Ibu yang kemarin menyusuiku?
Ia berkata sepuluh kali tanpa henti
Dan berjalan memegang boneka kucing
Berwarna ungu’
Rambutnya kering
Ibunya mulai menghilang ditelan reruntuhan
Termakan air dan tercabik dalam biru
Aku diam termangu
4) Ruang Dendam
Pada sekelumit dendam
Gadis itu tumbuh dewasa
Pada darah yang lupa tersapu ombak
Pada gunung yang meluap ganas
Ia gadis penunggu, aku seorang pemuja
Lewat sesajen dan dupa
Padamkan segala amarah
Lupakan segenggam dendam
Rangkul dan gendonglah dia
Namun wajahmu terlampau asing
Kau menyeruak meronta-ronta
Sekelumit dendam kian kau bawa
Aira.
Kau tinggal berjalan dan memilih yang mana
5) Sekilas Pundak
Maka, lampu kian memudar warna
Lilin tak jua menyalakan bara
Kau menggenggam sebuah dilema
Pada sebuah pundak
Aku menitip rindu amarah
Pada sekilas pundak
Kau akan pergi dalam malam
Aku lupa memberimu sebuah nama
Maka kulekatkan sebuah tulisan dalam pita
Ketempel erat di sebelah kiri jantungmu
Aira, nama itu akan kau bawa
Terus kau bawa sampai menemukan surga
6) Berbulan Duka
Warna merah di pipi kian merona
Aku tak bisa menduga
Kau terharu atau bahagia
Lelaki itu erat memegang namamu
Aira. Kala api telah kau genggam
Air pun akan kau kantongi
Lautan menjadi biru, pepohonan tumbuh haru
Gunung-gunung senyum melambai
Nikahilah dia. Jangan fikirkan aku
Sebab berbulan duka
Atau berabad tangis
Aku akan menahan tak
7) Di Ujung Nopember
Ujung Nopember, ‘you will be the dead of me’
Kematian, ruang kosong tanpa udara
Mendekap langit tanpa cahaya
Gemulai hujan memudarkan rupa
Kau tak kukenali sebagai perempuan
Tak kukenali pula sebagai Ibu
Tak pula kubaca gerak bibirmu
Aku hampa kau tinggal tiada
Aira, aku rindu rupa
8) Pada Musim yang Musim
Pada musim yang terlalu musim
Pada rindu yang terlalu rindu
Aku memandang langit dalam malam
Merangkai-rangkai senyummu diantara bintang
Melukis-lukis wajahmu dihening malam
Sesekali berpejam menyebut namamu
Aira. Kita sudah tak bisa bercinta
Kita sudah tak bisa merangkul selangkah
Kau kian menjauh arah
Jauh. Tak bisa kutangkap
Dan sulit kudekap
9) Menderu Biru
Baiknya kau putar ulang langkahmu
Berkali aku mengingatkan itu
Bismillah seratus kali
Kukemas barang dalam lemari
Namun di atas ranjang, kau mulai berbaring
telanjang
Sedang pintu lama kututup
Jendala rapat kututup
Angin apa yang membawamu
Kau hanya berbisik,
“Aku Aira. Jangan pergi
Aku enggan sendiri”
19 Desember 2011