Sabtu, 10 Desember 2011

Cerpen - Sepotong Senja Rasa Es Krim


Setiap senja, beberapa pedagang menjajakan dagangannya. Memakai rombong dan sepeda. Langit kian mendung dan mentari enggan tersenyum. Menanti gerimis disini, membuka kisah dulu. Saat kau tersenyum menikmati es krim yang banyak menempel di bibir dan bahkan dipipimu. Membuatku tertawa dan sesekali menjepret gambarmu dengan handphone. Dan kau berkata, “Jangan foto, aku lagi jelek”. Namun aku tak peduli, tetap ku jepret ribuan kali. “Kenapa sih difoto terus ?” Kamu nampak jengkel. Ku jawab saja, “Aku senang memotretmu, aku senang melihat gambarmu dalam kondisi apapun, karena kau tetap akan cantik dan senyummu selalu mampu membuatku tersenyum tatkala sepi merajut hari-hariku”.

Namun senja sore ini beku, aku termenung sendiri melihat beberapa album foto di handphone-ku. Ada banyak fotomu disini. Dengan berbagai gaya dan berbagai rupa. Aku hanya tersenyum sendiri sembari mengisap eskrim yang lama membeku dan tak sempat kumakan sedari tadi. Es krim yang selalu kau titip saat aku pulang kerja. Es krim yang menjadi awal pertemuan kita dulu. Semuanya memang berawal dari es krim.

Aku begitu ingat sekita satu tahun lalu, tepat dibangku ini kau lagi asyik menikmati es krim. Dan aku pura-pura tak melihat. Kemudian aku sengaja menabrak tanganmu. Es krim itu jatuh, mencair dan menghilang dibawah kakimu. Aku sengaja melakukannya karena aku ingin mengenalmu. Karena sudah tiga hari, setiap sore aku selalu melihatmu sendiri duduk dibangku ini, memegang buku yang sama dan tangan kananmu memegang sebuah eskrim. Matamu selalu tampak kosong, seakan titik-titik air mata menggantung dan enggan untuk jatuh dan menetes di pipimu yang putih.

Betapa marahnya kamu saat itu. Matamu melotot memandangku, “Buta ya mas? Belum aku sempat menjawab, kamu langsung berkata, “Kalau jalan makanya hati-hati, lihat depan, jangan asyik aja nelpon sambil jalan mundur kayak badut. Nih lihat akibatnya, es krim ku jatuh, mau ganti pake apa, ini es krim favorit ku lho, pedagangnya juga sudah pergi. Bisa saja saya tuntut mas…!!!” Perkataannya bertubi-tubi, nampak marah sekali. Sementara aku hanya tersenyum. Ia bengong melihatku tersenyum. Pipinya memerah, “Lho, ni orang aneh, dimarahin kok malah tersenyum?”. Aku masih tersenyum kecil, “Mbak nampak manis kalau marah, lihat pipi mbak, merah merona, kalau saja saya seorang fotografer, saya pasti memotret mbak dan akan saya promosikan jadi model internasional”. Ia sama sekali ga peduli dengan leluconku. ‘Udah ah mas, ga lucu, sekarang saya mau pulang, mood saya hilang ketemu sama mas”.

Ia pun berlalu dengan sepeda mininya. Meninggalkanku yang masih ingin lebih lama menatapnya. Yah, betapa senja telah mengantar senyumnya utuh kepadaku. Menitip semua wajahnya disetiap cerita mimpiku. Membuatku sering melamun dan senyum-senyum sendiri. Ia adalah bunga yang mekar dan hadir dihidupku disaat kekasih yang lama hidup denganku meninggalkanku dan menikah dengan seorang lelaki yang jauh lebih mapan dan lebih segala-segalanya ketimbang aku. Aku menemukan sosoknya, sebuah sosok yang mirip dan dengan senyum yang hampir sama. Hanya saja Ia jauh lebih lincah dibanding pacarku yang dulu. Karena pacarku yang dulu sifatnya keibu-ibuan dan sangat patuh terhadap perintah orang tuanya. Sampai akhirnya Ia dijodohkan dengan anak kolega bapaknya yang sedang memimpin sebuah perusahaan maju dan sukses.

Inilah takdir. Begitulah kata seorang teman mencoba menghiburku disaat aku terdiam sepi dalam kamar dan mulai malas beraktivitas. Tenang kawan, hidup tak berakhir disini, masih banyak perempuan lain yang bias menerima kita apa adanya. Jomblo bukanlah akhir segalanya. Kata-kata itu membuatku sedikit membuka fikiran dan tak mau berlarut-larut dalam kesedihan dan kekecewaan. Sejak itu aku mulai mencoba semangat untuk bekerja dan mencari hal-hal baru, salah satunya memotret. Karena aku yakin, waktu yang bisa merubah segalanya. Waktu pula yang bisa menghilangkan bayangan mantan pacarku dan waktu jua yang kini mempertemukanku dengan gadis itu.

Keesokan harinya, senja masih sama seperti kemarin. Aku menyempatkan diri ke taman itu. Memotret orang-orang yang ingin dipotret, memotret bunga yang pantas dipotret, dan memotret senja yang masih beku dan mendung yang mulai mengintip dari sela dedaunan. Dari balik lensa kameraku, pandanganku tertuju pada gadis itu. Gadis kemarin yang sempat menitip marah dan jengkelnya serta menghardikku dengan ribuan kata marah. Bagaimana caranya mendekatinya lagi. Aku mulai berfikir dalam hati. Kemudian aku berlari ke arah pedagang es krim. Aku putuskan membeli dua buah es krim. Setelah mendapat es krim tersebut, aku mendekatinya. Pandangannya sama sekali tak tertuju padaku. Ia asyik membaca buku yang masih setia ia bawa. “Ehem…” sembari aku duduk disampingnya, “Kok cuek mbak, aku bawain es krim lho, enak banget”. Ia sama sekali tak merespon. “serius ne ga mau”. Sambil kulahap es krim di depannya. Ia menolehku, bibirnya tampak menahan rasa ingin. “Ini ada satu lagi buat mbak, itung-itung sebagai ganti es krim yang kemarin saya jatuhin”. Tak kuasa menahan, Ia tersenyum dan mengambil es krim yang kutawarkan. “Makasih ya…” Suaranya nampak lembut, sangat berbeda dari kemarin. Aku menatapnya melahap es krim itu. Diam-diam aku mulai menaruh hati padanya.

Hari-hari pun berlalu. Ribuan sore kami lalui di taman itu. Sesekali mengajaknya mencicipi bakso, bahkan nonton. Ia begitu baik, dan sangat mengerti. Kami pun merajut hubungan, hampir selama satu tahun, kami hanya menuai tawa, bahagia dan sama sekali tak ada masalah dalam cerita kami. Ia begitu hafal apa yang ku suka dan apa yang tak ku suka. Ia begitu mengerti dan tak pernah memaksa keluar disaat aku harus menyelesaikan beberapa tugas kantor. Aku simpulkan, aku bangga mengenalnya karena ia selalu memberi tawa dan senyum disaat dunia memkasaku untuk mengeluh. Dia adalah segalanya.

Namun hanya satu tahun, sebelum semuanya berubah menjadi tangis yang menyesakkan dadaku. Bahkan sampai sekarang, disaat aku duduk dibangku ini. Memandang gambarnya di handphone-ku, aku sering menitikkan air mata. Betapa aku merasa kehilangannya. Seakan seperti jiwaku setengah telah dibawa olehnya.

Semua berawal ketika ada sedikit yang mengganjal dihatiku. Melihat perubahan di dalam dirinya. Betapa tidak, sebagai seorang pacar melihat kekasihnya dalam kondisi seperti itu, aku merasa sedih. Bibirnya tampak pucat sore itu, sepucat senja yang lupa mengantongi sisa-sisa sinar mentari. Sepucat wajah Ibu yang terbaring lemas di pembaringan. Suaranya sangat lemah dan langkahnya kian gontai. Berkali-kali aku menanyakan ada apa sebenarnya. Sejuta kali aku anjurkan periksa ke dokter, Ia hanya tersenyum dan berkata, “Cuma kecapean kok, ntar istirahat, tidur, pasti semuanya membaik”. Ia selalu berusaha tegar sampai akhirnya Ia jatuh terkapar di taman, rambutnya terlepas. Sejak itu aku tau kalau selama ini Ia menggunakan rambut palsu. Kepalanya botak. Ya, botak. Selama ini aku tak pernah membelai rambutnya. Karena memang aku bukan termasuk orang yang romantis.

Tangisku tak tertahankan menunggunya di ruang dokter. Sejak saat itu aku tau, kalau Ia ternyata telah lama mengidap leukemia. Penyakit yang sebagian besar membawa kepada kematian. Ia telah lama melakukan kemoterapi. Dan tinggal menunggu detik-detiknya saja. Aku terdiam kaku mendengar penjelasan dokter itu. Langkahku gontai, seperti tak menginjak tanah. Kepalaku berat bukan main. Aku diam menangis dibalik tembok ruang rumah sakit.

Semua waktuku sejak itu kuberi untuknya. Sebisa mungkin aku menemaninya melihat bunga-bunga yang layu di halaman rumah sakit, menyuapi tatkala ia malas makan atau membawakannya film-film kartun yag Ia suka di laptop dan nonton bersama dikamar rumah sakit.. “Kenapa tak pernah bercanda Mas?” Tiba-tiba ia berkata demikian. “Mas sedih ya?”. Aku hanya terdiam melihat ketegaran hatinya menunggu maut. “Jangan sedih Mas, bukankah hidup adalah menunggu mati. Hidup hanya sementara dan maksimalkan untuk membuat orang yang kita sayang bisa tersenyum. Jikalau kita sudah bisa berbagi kepada orang lain. Apalagi yang kita takuti jika maut itu datang menjemput.” Air mataku jatuh mengalir deras dan menetes di bahunya. Aku rangkul dengan sangat erat. “Bukannya mas sedih, hanya saja mas tak tau bagaimana mengarungi hidup ini. Jika kamu harus pergi”. “Mas takut. Takut sekali. Pada siapa harus membagi senyum dan tangis ini. Pada siapa harus berbagi es krim. Siapa yang akan menemani mas duduk dibangku taman setiap senja. Siapa yang akan mas becandain.” Aku tak mampu melanjutkan ucapanku. Nafasnya serasa tak berhembus. Kulitnya dingin. Dan bibirnya masih tampak mengurai senyum. Pukulan yang sangat besar dalam hidupku. Ia pergi selama-lamanya meninggalkanku dalam kesendirian. Menghembuskan nafas terakhirnya dalam pelukanku.

Air mataku jatuh. Kumatikan handphone-ku setelah lama menatap photonya. Maghrib sudah mau menjelang. Taman sudah sepi dan aku masih duduk dalam hening. Mengenangnya. Merasakan cintanya seperti menikmati bisikan angin sepoi yang berhembus di telinga. Bunga-bunga di taman ini mulai mekar dan selalu menitip wajahnya pada setiap langkahku. Aku bahagia mengenalmu dan belajar banyak darimu. Belajar tentang hakikat hidup yang sebenarnya dan menghargai kehidupan. Membuat sesuatu yang berarti selama kita mampu. Aku harus pulang. Setiap hari selalu kusempatkan ke taman ini. Hanya untuk mengenang dan bukan untuk menyesali.

Desember 2011

0 komentar:

Posting Komentar

 
;