Sabtu, 10 Desember 2011

Cerpen - Surat Kepada Lelaki


Kepada lelaki yang selalu menghujaniku dengan segala perhatian di tiap pesannya. Hari ini kuluangkan sedikit waktu menulis untukmu. Lewat tinta yang mengalir dari hati. Aku berucap, terima kasih. Kau sudah memberi warna indah dan meyakinkanku bahwa ada orang yang sungguh menyayangiku. Bahwa ada orang yang masih peduli dan mengikuti setiap detik kisahku. Bahwa ada seseorang yang paling tidak bisa menyamai kasih-sayang yang kudapat dari seorang Bapak.

Kau tuang segenap madu namun sekian kali kuberi perih. Kau tak henti memberi semua apa yang kubutuh. Walau aku terkadang jenuh. Kau tukar semua tawamu untukku dan senantiasa tersenyum padaku. Walau aku terdiam dan terkadang jemu. Memandangmu kelu.

Ingatkah kau, pertama kali bertemu. Aku yang mencoba menawarkan perkenalan. Kuambil handphone-mu yang terdiam terlentang diatas meja kerjamu. Kupahat namaku di dalam phonebook-nya dan kusimpan 12 digit nomerku. Angka yang berbulan-bulan lamanya kau dekap dalam kepingan hatimu. Angka yang tiap hari selalu kau pencet untuk menghubungiku berkali-kali. Angka yang membuatmu sering menitip rindu pada bait-bait puisimu tentangku. Angka yang kemudian menjadi luka terdalam disepanjang cerita perasaanmu. Terkadang aku menyesal, kenapa harus bertemu ditanggal 8 Oktober itu. Kenapa kau harus menitip perasaan sebesar ini. Perasaan berkabut seperti ombak besar yang setiap saat mencubit ujung jari kakiku. Ombak nan biru yang sama sekali tak kutangkap indahnya. Yang sama sekali tak mampu membuatku menitip satu pertanyaan saja.

Kenapa harus aku?. Aku tak mau bertanya karena kutau kau pasti akan menjawab seperti biasa. “Cinta datang dengan sendiri, menetes di sela-sela rambut, keluar dari ujung jemari dan bermuara pada sebuah hati. Cinta adalah perasaan tiba-tiba dan berkekuatan lebih cepat melebihi udara. Cinta adalah senyum pagi hari setelah menghirup kopi dan memberi salam pada kekasih tercinta. Cinta, ya cinta adalah kamu yang dengan melihatmu sedetik saja aku akan tersenyum dan hatiku bergetar. Itulah cinta, maka jangan pernah tanyakan lagi kenapa aku mencintaimu”.

Seperti itulah jawabanmu, aku senang mendengarnya. Aku senang melihatmu mengucapnya dan aku benci dengan hatiku yang tak bisa sedikitpun memberi mu ruang hanya untuk sekedar berteduh atau mengeringkan bajumu selepas hujan di ujung Nopember.

Kepada lelaki yang sungguh-sungguh mencintaiku dengan hati. Telah kau korbankan perasaan dan waktumu hanya untuk memikirkanku. Walau aku tak pernah membuka hati sedetikpun memikirkanmu. Taukah kau, saat gerimis dan hujan disini. Kau selalu datang menawarkan pelangi. Berwarna-warni, namun tak mampu kulihat kebesaran hatimu. Kau selalu berkata, aku mencintaimu dengan caraku sendiri. Cara yang indah dan membuatku jadi perempuan seutuhnya. Perempuan yang bingung, dan tak mampu mencintaimu. Perempuan yang dewasa namun memiliki hati yang sempit.

Berulang kali, aku tegaskan padamu, jangan pernah berharap hanya kepada satu orang saja. Sebab nantinya kau terluka dan menyesali. Namun kau pun menjawab, “Bukankah cinta konsekuensinya adalah luka, dan bukankah luka adalah proses kedewasaan. Aku tak pernah luka, aku tulus mencintaimu, maka tatkala kebetulan kita berjumpa dan kau sedang merajut cerita cinta, berbaring dipeluknya, maka aku mencoba tersenyum, menggaruk-garuk kepala atau mungkin meniti malam sepi di ranjang dan bermain boneka”. Begitulah, begitu ringan kau menafsirkan kekecewaanmu, namun aku tau matamu tak mampu berbohong. Matamu berair jauh dikedalamannya. Walau senyum kau tebar, ku tau kan memendam luka dalam. Namun itulah kau, sebisa mungkin kau terlihat tegar di depanku. Kau seperti tak pernah merasa sedih atau lemah. Walaupun sesekali aku tau kau sering menangis dalam kamarmu. Tatkala hujan enggan membawa wajahku atau disaat angin menerbangkannya jauh dari penglihatanmu. Kau akan berteriak sekeras-kerasnya dalam hati dan akan mengirim seratus pesan yang sama dan tak mampu kubalas. Karena aku pun enggan terlalu jauh memberi harapan yang kelak bias menghancurkan dan menenggelamkanmu ke laut yang terdalam.

Kepada lelaki yang selalu memuji-muji dan membanggakanku disetiap bait puisinya. Ya, puisi, kau memang terlalu sering berpuisi. Dan ku tau setiap puisi itu sebagian besar adalah perasaanmu bahkan sesekali rasa kesalmu terhadapku. Aku memang bukan pembaca yang baik. Aku memang tak pernah sekalipun membahas bahkan menilai puisimu. Tapi secara tidak langsung aku faham makna dan inti setiap puisimu. Ada satu puisi yang begitu membuatku sedikit terdiam dan memikirkanmu sejenak, kira-kira seperti ini penggalan baitnya :

Dia seperti malaikat, membelai dan menunggui pagimu
Menyeka air mata dan menenteramkan sakitmu, selalu
Jarum jam yang kupunya terbatas, meniti pada kesibukan
Untuk segala mimpi-mimpiku tanpa harus mengabaikanmu
Andai saja jarum jam yang kau beri bisa lebih, mungkin aku bisa
Paling tidak hanya untuk sekedar menyamai apa yang ia beri untukmu

Aku mengerti, ini kau buat disaat pertama kali kau melihatku sedang lelap dalam peluknya, meniti sakit yang panjang dan kau berniat menjenguk. Membawa sekantong buah yang kau bungkus dengan keikhlasan. Menyisakan sedikit waktu dalam kesibukanmu. Meninggalkan pekerjaan yang seharusnya menjadi kewajibanmu. Hanya untuk melihatku yang sedang terbaring kaku. Namun apa yang kau dapat. Bulan yang kau damba sedang begitu dekat dengan lelakinya. Namun kau begitu tegar, seakan yang kau temui hanya aku. Tanpa peduli Ia masih disana menemaniku. Aku tau kau begitu terpukul melihat kenyataan bahwa ada lelaki lain yang selalu dsisiku. Namun lagi-lagi kau tersenyum.

Aku menangis waktu itu, bukan tangis kepedihan karena sakit yang menderaku, tapi aku menangis menyalahkan waktu. Karena ku yakin kau pun tau sendiri bahwa dilema terbesar bagi seorang perempuan adalah disaat ia bersama diantara dua orang lelaki. lelaki yang mencintainya dan lelaki yang ia cintai. Dan malam itu kau pun berlalu dan merangkul tanganku. Dingin sekali.

Kepada lelaki yang pernah mengantarkan sebuah kue dihari ulang tahunku. Sebuah kejutan di malam yang beku. Saat lampu dirumahku gelap dan menyisakan embun dalam perjalananmu. Maaf, terlalu banyak pengorbanan yang tak bisa kubalas. Entah dengan apa membalas. Karena hati tak mungkin bisa dibagi atau pun diiris menjadi dua potongan kecil. Dan kusuapkan masing-masing kepada kalian. Malam itu kau mengantar hatimu penuh. Terbungkus rapi nan utuh. Kau tak pernah sadar dan tak pernah mau tau, ia telah berkuasa penuh dihatiku. Kau tawarkan hatimu berulang kali. Namun, terlalu sering kubuang hatimu percuma, bahkan kurobek dan kucampakkan di halaman rumah. Dan terinjak-terinjak oleh kucing berkalung sekian bulan. Kucing yang malam itu ikut menangis menatapmu. Namun kau begitu tulus, tak letih, tak penat dan tak henti memberiku segenap rindu dan berbagai pelajaran hidup. Walau kau tau, aku lama hidup bersamanya. Walau kau tau, aku merajut cinta dengannya dan sering membuatmu terluka dan bahkan terhina. Hanya ada kata maaf, karena hidup tak selalu dan tak selamanya harus meraih apa yang kita angan-angankan. Terima kasih banyak.

Nopember 2011

0 komentar:

Posting Komentar

 
;