Tepat jam sembilan pagi. Aku sudah berada di ruang sidang. Menjadi saksi. Sebuah hal baru dalam hidupku. Karena sampai saat ini aku belum pernah sama sekali berurusan dengan yang namanya hukum. Tapi hari ini, mau tak mau aku harus duduk di sini dan berbicara sejujur mungkin tentang apa yang menimpa kakakku. Satu-satunya kakak lelaki yang terbunuh beberapa hari lalu. Dan aku berada di
Sebuah kejadian yang selalu membuatku menitik air pada sampai pada hari ini. Kakakku bernama Toni, seorang mahasiswa semester akhir. Ia lumayan cerdas dan sering mendapat beasiswa beberapa tahun terakhir.
Ruang sidang masih sepi dan sang hakim baru saja duduk ditempatnya.
Aku masih ingat jelas, setiap pagi bapak selalu memarahiku setiap aku telat bangun, “Lihat kakakmu si Toni. Ia selalu bangun shubuh-shubuh ke musholla, adzan, kamu ini apa, cewek kok bangun seginian, rezekimu duluan dipatok ayam. Dasar anak cewek, maunya dimanjain aja” Begitulah ayah selalu dan hampir membanding-bandingkan anak-anaknya. Selalu ia menyuruh kami mencontoh pada Toni. Sama sekali tak ada celanya di mata ayah.
Karena memang demikian, menurutku juga Ia sosok yang sangat baik. Ia selalu peduli dan jauh mementingkan kebutuhan adik-adiknya ketimbang kebutuhannya sendiri. Ia sangat jarang jajan di luar dan ia juga memang tidak merokok. Sebagian besar uang yang ia peroleh digunakan untuk biaya kuliah, biaya adik-adiknya dan sebagian mungkin di tabung. Namun terkadang ada hal yang tidak ku suka darinya. Ia selalu mengurus masalah ku. Dengan siapa aku pacaran, bagaimana sikap pacarku dan siapa pacarku. Aku sadar, semua ia lakukan karena ia sayang padaku. Ia tak ingin aku memilih seorang pacar yang menurutnya tidak baik.
Ruang sidang sudah mulai penuh.
Beberapa kali ia pernah ribut dengan para preman di jalan. Lantaran si preman terlampau sering menggodaku. Aku ingat dengan jelas, malam itu Aldi meneleponku memintaku menemuinya ditempat ia biasa nongkrong dengan teman-temannya. Tempat yang tak begitu jauh dari rumahku. Ia bilang ia begitu kangen dan belum berani ke rumah dikarenakan mas Toni, kakakku yang sudah meninggal, tak pernah ramah padanya. Karena mas Toni sudah mengenal betul siapa Aldi. Mas Toni sering berkata, “Dek, tolonglah kakak minta untuk tidak terlalu dekat dengan Aldi. Bukannya kakak sok ikut campur mengurus semuanya. Tapi kakak hanya ingin adek mendapat yang jauh lebih baik. Aldi tidak begitu baik. Setiap malam sehabis dari toko, kakak selalu melihat mereka ngumpul dengan botol-botol minuman berserakan dengan beberapa temannya.
Begitulah, selain bertemu di sekolah, kami selalu bersembunyi tiap kali ketemu dari penglihatan mas Toni, aku selalu menemuinya kapan pun ia minta. Terkadang aku berlasan keluar motocopy atau mungkin pergi membeli jajan. Ayah selalu curiga dan selalu ngomel tiap aku minta izin. Tapi itulah kekuatan cinta yang kami miliki, aku selalu tak peduli dan terlanjur sangat sayang padanya. Sedikit pun tak ada keburukan darinya. Yang ia tanam hanya senyum. Senyum yang begitu berbeda kulihat di ruangan ini. Aldi nampak memakai sehelai kemeja putih. Dengan rambut yang mulai agak gondrong. Dan nampaknya berhari-hari tak disisir. Aku bisa menangkap keresahan dan ketakutan yang menggantung dibenaknya.
Sesekali ia memandangku. Aku pun sesekali memandangnya. Namun aku sangat bingung. Aku berada di sidang ini sebagai musuhnya. Sebagai seorang saksi yang akan menjerumuskannya ke penjara. Beberapa tahun atau mungkin bisa saja seumur hidupnya. Fikiranku begitu kosong, di pihak lain keluargaku berharap aku mengatakan sejujur-jujurnya tentang kejadian itu. Sehingga pembunuh kakak ku bisa merasakan balasan yang setimpal dengan apa yang di dapat anaknya. Di sisi lain lagi aku harus membuat orang yang begitu kusayang dan juga sangat mencintaiku mendekam di dalam jeruji besi. Namun kebenaran tetap akan menjadi kebenaran. Kebenaran akan terkuak sejauh mana pun orang menyembunyikannya. Kebenaran adalah sebuah kebenaran.
Tibalah saatnya, seorang hakim meminta menghadirkan seorang saksi tunggal. Aku pun berjalan ke tengah ruang sidang. Duduk di sebuah kursi dengan detak jantung berdegup tinggi. Aku memandang semua keluargaku yang masuh duduk sedari tadi kemudian mengalihkan pandanganku ke arah Aldi. Ia hanya menunduk dan pandangannya tak tertuju padaku. Air mataku menitik sesaat sebelum seseorang mangangkat sebuah Al-quran tepat di atas kepalaku. Bibirku gemetar dan tanganku serasa berat. Aku pun berbicara.
“Malam itu, tepatnya malam Kamis. Aku meminta izin kepada bapak untuk membeli sebuah buku. Bapak enggan memberiku izin. Namun aku terus merengek meminta izin pada Bapak. Dan ia mengizinkanku keluar paling lama hanya setengah jam. Aku sangat bahagia keluar teras rumah. Dikarenakan aku berhasil membohongi bapak. Aku berkali-kali membohongi beliau. Maafkan aku Pak.”
Sambil aku menoleh bapak yang masih duduk kaku dibangku paling depan.Bapak pun memandangku dengan tajam. Mata itu tampak berair. Aku pun melanjutkan pembicaraan.
“Aku pun berjalan, karena tujuanku sebenarnya adalah menemui kekasihku. Kekasihku adalah Aldi, yang kini menjadi tersangka. Aldi, kekasih yang sangat baik dan selalu memenuhi semua keinginanku. Namun sayang, kakakku yang kini jadi korban, Toni, selalu memandangnya sinis. Selalu beranggapan bahwa Aldi hanya seorang pemabuk dan tak pantas sama sekali dekat denganku. Karena kami dari keturunan baik-baik. Mengingat ayah kami adalah seorang imam Masjid. Begitulah, mas Toni tak pernah memandang kebaikan kepada tersangka Aldi.”
“Bagaimana pun orang bilang, Aldi adalah seorang yang super baik terhadapku. Seorang yang bisa disebut sebagai pacar sebenarnya. Ia mampu melindungiku dan menjaga harga diriku sebagai seorang wanita. Meskipun tampangnya agak ugal-ugalan. Meskipun cemo’oh warga tak henti menghina dan merendahkannya. Ia selalu senyum walau jauh dikedalaman hatinya ia sedih dan menangis sekeras-kerasnya. Malam itu, sudah jam sembilan lebih, aku sebenarnya sangat ingin pulang. Namun apa dayaku. Aldi sangat membutuhkanku malam ini. Aku tak kuasa untuk meninggalkannya.”
“Dari kejauhan aku melihat sebuah lampu sepeda motor. Hal yang kutakutkan benar-benar terjadi. Mas Toni lewat sepulang dari toko. Tepat sekali, lampu sepeda motornya mengarah pada kami yang lagi duduk berdua dalam kondisi Aldi memelukku. Sepeda motor itu berhenti. Mas Toni beranjak turun dari motornya”.
“Apa-apain ini” mas toni berteriak dan menarik tanganku. “Pulang kamu…!!!” sementara Aldi langsung terbangun memegang tubuhku. “Santai aja Mas” Aldi mencoba melerai tangan mas Toni. Mas Toni tak kuasa menahan marahnya. Gumpalan tangan kanannya menonjok pipi Aldi. Aldi tersungkur. Mas Toni terus menarik tanganku sekuat-kuatnya. Aldi beranjak bangkit dan memegang sebuah botol. “Dasar anak nakal, malam-malam gini masih bersama bajingan, bajingan selamanya bajingan. Lihat keluarga pacarmu itu. Bapak sama anak semuanya ga bermoral. mau jadi apa kamu?” mas Toni terus ngomel dan mencaci sembari menarik tanganku untuk naik di motornya. Dan tiba-tiba dari belakang, aldi sudah memegang dua buah botol minuman. Dalam hitungan detik aku hanya mendengar suara botol pecah di kepala mas Toni. Aku terkaget dan coba melerai aldi. Namun apa dayaku sebagai perempuan, tangan Aldi terlalu kuat dan Ia terus memukul kepala mas Toni. Hampir
“Begitulah Pak Hakim cerita sebenarnya”. Aku mengusap air mataku yang mulai jatuh dengan sebuah tisu. Aldi tertunduk lesu memandangku. Aku lega bisa mengatakan kejadian sebenarnya dan resah menanti hukuman apa yang diberi kepada Aldi.
Desember 2011
*SELESAI*
0 komentar:
Posting Komentar