Sabtu, 10 Desember 2011

Cerpen - Risalah Hati


Serentak tangannya mengepal rokok ditangan. Raut mukanya begitu kasar dan kian geram. Andi, ya demikian nama pemuda itu. Pemuda yang sehari-harinya sebagai mahasiswa di salah satu perguruan tinggi swasta itu tampak marah. Ia kecewa mendengar keputusan kekasihnya yang berniat pergi meninggalkannya. Gadis itu bernama Ayuni. Gadis yang dua tahun terakhir ini masih setia bersamanya. Dan hampir tidak ada masalah yang begitu besar dalam hubungan mereka. Bahkan teman-teman dikampus menganggap mereka adalah pasangan paling romantis. Bagaimana tidak, selama dua tahun berpacaran, Andi sangat setia mengantar jemput gadis itu ke kampus, dan mereka sangat romantis dalam keseharian. Selalu terlihat senyum dan tawa dari pasangan ini. Sehingga teman-temanya menjadi iri dan ingin seperti mereka.

Namun kali ini badai besar tampaknya menerpa jiwa Andi. Setelah membaca sebuah pesan kekasihnya di inbox handphone-nya. Pesan yang membuat Andi terdiam sejenak. Pesan itu berbunyi, “Andi, terima kasih banyak untuk semua waktu dan pengorbananmu. Terima kasih telah menemani selama ini. Tapi jalan kita terlalu jauh. Maaf, aku harus pergi meninggalkanmu. Mohon mengerti, karena kelak Tuhan pasti mengirim seorang yang jauh lebih baik menjadi jodohmu dan menemani hidupmu selamnya…”. Andi tak berniat membalas pesan tersebut. Ia langsung meluncur ke rumah Ayuni kekasihnya.

Siang, sekitar jam dua belas lebih, Andi sudah sampai didepan rumah Ayuni. Jalanan sepi, kebanyakan orang lebih senang menghabiskan waktu waktu dengan istirahat dikamar. Karena beberapa minggu terakhir ini cuaca begitu panas dan menyebabkan orang malas bepergian dan keluar rumah. Rumah Ayuni siang itu tampak lengang, tak ada seorangpun diluar. Andi mengeluarkan HP dari kantong dan mencoba menghubungi nomer kekasihnya. Alhasil, setelah beberapa kali ditelepon, nomer itu tak aktif. Andi semakin bingung. Ia memberanikan diri untuk mengetuk pintu rumah itu. Setelah beberapa kali diketuk, barulah seorang perempuan dengan sarung muncul membuka pintu. Perempuan itu adalah Ibunda Ayuni.

Assalamu’alaikum Bu…” Andi mencoba memulai percakapan.

Wa’alaikumsalam Nak…” Tampak suara Ibu itu kurang sehat.

Andi tersenyum kecil dan mencium tangan Ibu Ayuni. Seperti biasa, Ibu separuh tua itu mengusap kepala Andi dan bibirnya komat-kamit seperti mendo’akan.

Silahkan masuk Nak…” Ibu itu tampak membuka pintu lebar-lebar dan masuk duluan ke rumah. Andi pun mengikuti dan duduk di sebuah karpet yang memang sudah tersedia di ruang tamu. Andi sedikit kelelahan, karena cuaca begitu panas dan juga jadwalnya jam kuliah dari pagi hari. Ibu Ayuni masuk ke dapur. Dan seseaat keluar dengan segelas air putih. Ia begitu hafal kalau Andi nampaknya kehausan dan butuh segelas air.

Silahkan diminum dulu Nak…!!! Suara seorang ibu yang begitu lembut sambil menyodorkan segelas air ke tangan Andi.

Makasih Bu…” Balas Andi sambil mengambil gelas dan meminumnya secukupnya. Ia kemudian menghela nafas dan sepertinya bingung harus memulai percakapan dari mana.

Bu, Ayuni-nya ada…?” dengan sedikit tersenyum, Andi langsung bertanya. Ibu separuh baya itu hanya terdiam. Seakan ingin berkata, namun begitu berat sekali. Beberapa saat Ia terdiam dengan air mata menggantung dimatanya. Tampak berat sekali masalah menderanya. Tak seperti biasa, Ibu yang selalu ceria dalam kesehariannya. Ibu yang selalu menenangkan hati Andi tatkala ia ada masalah kecil dengan anaknya. Andi semakin bingung, ia juga terdiam melihat sang Ibu dengan tatapan kosong. Setelah beberapa saat, Ia kembali bertanya.

Sebenarnya ada apa Bu?” dengan wajah penasaran dan ingin tahu sebenarnya apa yang menimpa kekasihnya sampai ia pergi meninggalkannya. Karena terakhir kali bersama empat hari lalu hubungannnya sangat baik. Bahkan mereka sempat keluar makan bakso bersama di warung bakso depan kampus, dan Ayuni tampak bahagia malam itu.

Ibu itu mencoba tersenyum dan menjawab, “Tidak ada apa-apa Nak, semua adalah jalan Tuhan dan Ibu yakin seberat apapun masalah, kamu pasti bisa tegar dan ikhlas menerimanya”.

Kali ini Andi menghela nafas panjang dan rintik-rintik hujan mulai menetes dimatanya. Fikirannya berkecamuk dan hatinya begitu remuk. Ia masih tak mengerti apa yang diucapkan Ibunda Ayuni. Ia menunggu Ibu Ayuni mengucapkan sesuatu lagi. Perkataan yang mungkin bias membuatnya menangis atau mungkin mengutuk takdirnya.

Nak…” Ibunda Ayuni tampak melanjutkan ucapannya, “Ibu tau, Kamu begitu sayang sama Ayuni. Kamu selalu ada buat Ayuni. Bahkan, Ibu sendiri sangat sayang sama kamu Nak. Ibu sudah anggap kamu sebagai anak sendiri. Kamu sedikitpun tidak pernah menyakiti Ayuni. Sedikitpun kamu tidak pernah membuatnya kecewa. Ibu tau, karena apapun dan kemanapun kalian pergi, Ayuni selalu cerita dan curhatnya kepada Ibu. Jadi Ibu tau semuanya. Bagaimana kamu meninggikan Ayuni dihatimu. Walaupun terkadang kamu sedikit agak kecewa dengan sikapnya Ayuni yang agak sedikit manja dan suka kekanak-kanakan. Jadi, Ibu mohon, tolong kamu maafkan semua kesalahan yang pernah Ia perbuat, karena bagaimanapun Ia juga begitu menyayangimu. Ia begitu menjaga hubungannya dengan kamu. Sekian banyak cowok yang Ibu lihat dating bertau kerumah. Sedikitpun Ia tak pernah memberi hati. Karena satu-satunya yang sangat Ia harapkan adalah kamu Nak”.

Air mata mulai tak terbendung dari mata sang Ibu. Air mata yang begitu dalam seperti musim penghujan yang datang ditengah kemarau. Air mata seorang Ibu yang begitu sayang sama anaknya. Andi juga tak mampu membendung air matanya ditengah penasaran apa sebenarnya yang dialami kekasihnya. Apa sebenarnya yang terjadi, ia dihantui beribu pertanyaan. Pertanyaaan yang seakan membuat jantungnya berhenti sejenak. Pertanyaan yang seakan mengiris satu kepingan hatinya. Yah, betapa Ia begitu menyayangi Ayuni. Ia sedikitpun tak pernah membuatnya sakit hati. Ia selalu mengalah jika ada perdebatan kecil ditengah hubungan mereka.

Andi bersandar sejenak dan menghela nafas panjang dan pandangannya tak henti menatap mata seorang Ibu yang duduk tak jauh didepannya. Mata yang sudah terbungkus dan digenangi air mata. Mata yang persis seperti dua tahun lalu. Ketika Ibu Andi menangis sebelum menemui ajalnya. Ia begitu melihat jelas Ibunya sendiri dalam mata Ibu Ayuni.

Bu, apapun yang terjadi kepada Ayuni, aku akan tetap menyayanginya. Sedikitpun perasaan ku tak akan berubah. Tolong Bu, ceritakan sebenarnya apa yang terjadi !”

Ibu separuh baya itu menyeka air matanya dengan sebuah tisu. Ia nampak tak kuat untuk memberi tahu Andi apa sebenarnya yang terjadi. Ia begitu sadar hati Andi akan terpukul mendengar kenyataan ini. Tapi melihat ketegaran dan bola mata yang begitu tajam dari pemuda itu, akhirnya Ibu Ayuni mencoba menceritakan keadaan sebenarnya.

Nak, Ibu sebenarnya sangat berat menceritakan semua ini. Karena Ayuni juga menitip pesan kepada Ibu untuk tidak menceritakanmu apa yang terjadi. Tapi Ibu juga tak tega melihat kamu dilanda kebingungan seperti ini. Begini Nak, tiga hari lalu. Tepatnya hari Selasa. Ketika Ayuni pergi dengan pamannya. Mereka mengalami musibah dan…” perkataan Ibu itu terhenti, Ia tak kuasa menahan air matanya yang mengalir deras dan membentuk muara kesedihan di pipinya. Kulitnya yang sedikit keriput seakan dibalut sejuta kesedihan. Begitupun dengan Andi, Ia nampak kaget mendengar ucapan sang Ibu.

Astagfirullahalazim, terus dimana Ayuni sekarang? Bagaimana keadaannya? Apa dia baik-baik saja?” rentetan pernyaan secara spontan keluar dari bibir yang agak pucat itu. Pertanyaan yang begitu lazim terucap disaat seseorang shock mendengar kabar mengharukan dari seorang yang Ia sayangi.

Ayuni sekarang berada di Rumah Sakit Nak, sudah tiga hari ini dia opname. Dia mengalami koma selama dua hari, itu sebabnya Ia tak pernah menghubungimu. Itu juga sebabnya kenapa handphen-nya tak pernah aktif. Baru tadi pagi Ia sadarkan diri, dan mencoba memberi kabar kepadamu. Ia sangat sedih dengan apa yang Ia alami. Pertama kali tersadar pun Ia tak henti menyebut namamu sambik menangis. Yang sabar ya Nak

Air mata mengalir dari mata pemuda itu. Ia seakan tak mampu berkata apa-apa. Ia mengingat apa yang dikatakan kekasihnya saat terakhir bersamanya. Ayuni mengajaknya untuk menikah. Namun Ia tidak menjawab apapun, dikarenakan Ia masih kuliah dan belum mepunyai pekerjaan tetap.

Lantas kenapa Ayuni harus berkata meninggalkanku Bu? Kenapa Ia harus berkata seperti itu?” Pertanyaan terucap lagi dari bibir pemuda itu.

Nak, kecelakaan siang itu hampir merenggut nyawanya. Syukur dia bias selamat dan tersadar dari komanya. Namun, kenyataan pahit harus Ia terima Nak, kakinya lumpuh karena tergilas mobil truk dalam kecelakaan itu. Salah satu kakinya sudah tidak berfungsi. Dokter menyarankan amputasi untuk menghindari penyebaran ke anggota tubuh yang lain. Kalau keluarga sudah menyetujui, insyaAllah operasinya akan dilaksanakan dua hari lagi setelah lebaran

Tubuh Andi lemas mendengar pernyataan itu. Seperti dihujam badai yang beitu besar. Tubuhnya yang perkasa itu seakan roboh dan tak kuat menahan terpaan. Matanya kosong, hambar dan tak berwarna. Gadis yang Ia sayangi harus menerima kenyataan seperti ini. Gadis yang riang dan selalu bercita-cita tinggi. Selepas mendengar penjelasan sang Ibu, Andi langsung beranjak dan bergegas ke Rumah Sakit.

***

Sesampainya di Rumah Sakit, tepatnya diruang IGD, Ia melihat tubuh Ayuni terbaring tak berdaya. Ia langsung menggemgam erat tangan gadis itu dan mencium keningnya.

Kenapa Ayuni? Kenapa harus seperti ini? Kenapa bukan aku saja yang mengalaminya? Aku menyesal, seandainya hari itu aku yang mengantarmu pergi, mungkin keadaan tak seperti ini. Maafkan Aku sayang, Aku penyebab semuanya. Aku tak bias menjagamu. Padahal aku berjanji akan selalu menjaga dan mewujudkan semua keinginanmu”. Sambil terisak-isak Ia terus mendekap kekasihnya. Sementara Ayuni hanya terdiam kaku melihat kekasihnya yang terus menangis dipelukannya. Hanya matanya yang berkaca-kaca. Seakan menangis dengan jeritan yang dalam dihatinya. Tangis yang dahulu pernah membawanya ke pelukan Andi. Tangis yang dulu sempat membuatnya mengerti betapa hidup memang tak selalu seperti apa yang kita inginkan.

Andi kembali melanjutkan perkataanya, “Ingatkan sayang, terakdir kali kita bertemu. Kamu meminta aku untuk menikahimu. Sekarang aku siap sayang, aku siap lahir bathin untuk menjadi pendamping hidupmu. Lelaki yang akan selalu menjaga dan melindungi kehormatanmu. Lelaki yang akan lebih dulu menangis sebelum kau menangis. Lelaki yang akan selalu membuatmu tertawa dalam keadaan apapun. Apakah kau mau menjadi istriku saying?” Andi menatap dalam-dalam mata kekasihnya.

Sementara Ayuni terdiam sesaat dan menatap mata Andi, dan dengan terbata-bata ia bericap, “Ia sayang, aku mau dan siap lahir bathin menjadi istrimu”.

Andi tersenyum bahagia mendengar ucapan kekasihnya dan memeluknya dengan segenap kasih saying yang dalam. Sementara sang Ibu yang dari tadi berdiri dibelakang mereka tersenyum sambil menitikkan air matanya.

Oktober 2011

0 komentar:

Posting Komentar

 
;