Senin, 24 Oktober 2011

Jalan Setapak di Perian


(Salam Untuk Ibu)

*

Di perian. Detak jantung terlalu jauh dari ibu. Menghitung malam tanpa bintang, dan asap-asap rokok kian bercerita. Tentang matamu yang basah menanti pagi. Atau tentang baju yang harumnya kian memudar dalam laci. Di gelap-gelap jalanan. Rintik-rintik gerimis adalah pengharapan dalam hati. Sekedar membasahi jalanan, dan membawa jauh jejakmu berlayar. Entah kenapa di malam seperti ini, kala hati ingin jauh berlari. Tanganmu seakan menarik dan berucap, cepat kembali karena cinta terlalu berat kutanggung sendiri.


**

Aku adalah cerita. Membentuk muara dalam jalan tak rata. Sejauh dua kilometer. Disepanjang luka kian tercecer. Sedang malam disini tak seperti malam dirumahmu. Tak ada Ibu yang membuat teh manis dengan air matanya. Tak ada hati yang setia merapikan tempat tidur sebelum pagi menjelma. Ah, aku tak mau luka membawa langkahku kembali ke hatimu. Aku hanya ingin tersenyum dan menyeka semua rintik hujan dimatamu. Meskipun ku tau, kau tak akan pernah menghendaki itu.

***

Di ujung malam. Aku tak ingin meraba, jalan mana yang akan ku tapak. Ke kiri atau ke kanan. Jalanan begitu lengang dihatimu. Tak berarah dan tak berpenghuni. Kosong. Di sisa-sisa inginku, tanganku beku dan bibirku kelu tak berlagu. Sementara rumahku adalah nyanyian pilu. Dan kamar yang merindu menantiku pulang membawa hidup dan mimpiku yang dulu. Seperti gonggongan anjing dalam malam bisu, saat kau menangis sendu. Di sisiku, namun hatimu mendambanya memendam rindu. Di sela-sela inginmu yang akan membunuhku jika tak mengantarmu pulang pagi-pagi mengetuk pintu rumah dan menemui ibumu.


Perian, 22 Oktober 2011

0 komentar:

Posting Komentar

 
;